Tentang Kemarahan
Seorang anak datang kepada ayahnya, dan berkata:
"Ayah, bagaimanakah caranya mengendalikan amarah?"
Ayahnya menjawab: "Anakku, jika saat ini engkau belum bisa
mengendalikan amarahmu, cobalah kau lampiaskan amarahmu itu.
Setiap engkau marah, pergilah ke pagar kayu di belakang rumah kita.
Bawalah palu, sertakan juga paku secukupnya.
Pakukan paku-paku itu ke pagar kayu, sampai amarahmu reda.
Jika semakin lama semakin sedikit paku yang engkau pakukan,
tandanya engkau semakin bisa menahan amarahmu.
Nanti, pada saat engkau sudah berhasil menahan diri
untuk tidak memaku, kembalilah padaku
untuk mendiskusikan lagi hal ini."
Dan anak itu melakukannya.
Sekian hari berganti.
Sekian bulan berganti.
Sekian tahun berganti.
Akhirnya anak ini kembali kepada ayahnya,
untuk membicarakan perihal amarahnya.
"Ayah. Aku sudah berhasil menahan diri untuk tidak
memaku pagar belakang rumah kita setiap kali aku marah.
Apakah ini artinya aku sudah bisa menahan amarah?"
"Belum anakku. Sekarang coba setiap satu kali engkau
berhasil untuk tidak marah, cabutlah sebuah paku
dari pagar kayu yang telah kau paku selama ini."
Dan anak itu pun melakukannya.
Sekian hari berganti.
Sekian bulan berganti.
Sekian tahun berganti.
Dan anak ini kembali kepada ayahnya,
untuk membicarakan kembali perihal amarahnya.
"Ayah. Aku sudah berhasil mencabut semua paku
dari pagar kayu di belakang rumah kita!
Aku berhasil menahan amarahku!" ujarnya bangga.
Sang ayah cuma tersenyum.
"Engkau mungkin berhasil anakku,
tapi lihatlah pagar kita.
Bekas paku-pakumu terlihat bagai luka yang menganga..."
Sang anak terdiam.
Sekarang baru dia bisa mengerti apa arti menahan amarah itu sesungguhnya....
-------
Minggu, 24 June 2001.
Dalam mobil Boyke, di Highway Route 9, dari Boston ke Worcester.
Sepulang acara pengajian anak-anak Indonesia seputar Boston.
Topic: "Patience and Gratitude"
Seorang anak datang kepada ayahnya, dan berkata:
"Ayah, bagaimanakah caranya mengendalikan amarah?"
Ayahnya menjawab: "Anakku, jika saat ini engkau belum bisa
mengendalikan amarahmu, cobalah kau lampiaskan amarahmu itu.
Setiap engkau marah, pergilah ke pagar kayu di belakang rumah kita.
Bawalah palu, sertakan juga paku secukupnya.
Pakukan paku-paku itu ke pagar kayu, sampai amarahmu reda.
Jika semakin lama semakin sedikit paku yang engkau pakukan,
tandanya engkau semakin bisa menahan amarahmu.
Nanti, pada saat engkau sudah berhasil menahan diri
untuk tidak memaku, kembalilah padaku
untuk mendiskusikan lagi hal ini."
Dan anak itu melakukannya.
Sekian hari berganti.
Sekian bulan berganti.
Sekian tahun berganti.
Akhirnya anak ini kembali kepada ayahnya,
untuk membicarakan perihal amarahnya.
"Ayah. Aku sudah berhasil menahan diri untuk tidak
memaku pagar belakang rumah kita setiap kali aku marah.
Apakah ini artinya aku sudah bisa menahan amarah?"
"Belum anakku. Sekarang coba setiap satu kali engkau
berhasil untuk tidak marah, cabutlah sebuah paku
dari pagar kayu yang telah kau paku selama ini."
Dan anak itu pun melakukannya.
Sekian hari berganti.
Sekian bulan berganti.
Sekian tahun berganti.
Dan anak ini kembali kepada ayahnya,
untuk membicarakan kembali perihal amarahnya.
"Ayah. Aku sudah berhasil mencabut semua paku
dari pagar kayu di belakang rumah kita!
Aku berhasil menahan amarahku!" ujarnya bangga.
Sang ayah cuma tersenyum.
"Engkau mungkin berhasil anakku,
tapi lihatlah pagar kita.
Bekas paku-pakumu terlihat bagai luka yang menganga..."
Sang anak terdiam.
Sekarang baru dia bisa mengerti apa arti menahan amarah itu sesungguhnya....
-------
Minggu, 24 June 2001.
Dalam mobil Boyke, di Highway Route 9, dari Boston ke Worcester.
Sepulang acara pengajian anak-anak Indonesia seputar Boston.
Topic: "Patience and Gratitude"