(disadur dari blog-nya weedee)
Konon Mushashi, si legenda jago samurai dari Jepang, tidak selalu mengabulkan tantangan duel yang dilayangkan kepadanya. Dia akan menimang senjatanya, dan saat itu juga dia tahu, apakah dia akan siap dengan pertarungan yang baru atau tidak.
Seorang teman menceritakan perumpamaan ini, untuk menjawab keheranan saya, melihatnya berlatih menggambar setiap hari padahal ia ssaaannggaaaat jago bikin sketsa (the best I've ever met-lah). Berlatih dalam arti yang sebenarnya, membuat tarikan-tarikan sederhana seperti yang kami dulu lakukan saat kuliah Rupa Dasar dulu. Setiap hari, puluhan lembar kertas ia habiskan untuk berlatih. Buat saya, ini sedikit absurd, karena saya (dan teman-teman) sependapat, bahwa skill menggambarnya itu adalah bakat gawan bayi, sesuatu yang sudah melekat padanya sejak lahir.
Cukup lama saya tidak setuju dengan teman ini , dan menganggapnya buang waktu semata. Sampai suatu hari saya menyadari, ada begitu banyak contoh luar biasa tentang ketekunan berlatih. Ada keponakan perempuan, yang masih berlatih renang sekian jam sehari, padahal kemampuan renangnya jauh di atas kakak kelasnya yang pria. Ada kakak ipar yang menguasai tujuh bahasa asing, dan masih terus berusaha mempraktekkannya setiap hari. Juga mantan atasan saya yang tidak pernah ragu membuang gambar terbaik yang pernah dibuatnya, untuk kemudian membuat gambar yang baru lagi.
Pada akhirnya saya melihat, orang-orang terdekat saya ini tidak pernah merasa bahwa kemampuan terbaik adalah sesuatu yang lekat sejak lahir. Ada kerja keras dan keringat sepanjang waktu. Yang betapa kemampuan superior itu justru mewartakan (dan membutuhkan) kerendahan hati yang luar biasa. Yaitu saat mereka bertekun secara terus menerus, untuk mencapai sesuatu yang (buat orang lain mungkin) terlihat unlimited, unreachable. Hingga pada akhirnya, kemampuan yang dimiliki terlihat 'melekat' pada dirinya. Lebih jauh teman saya menjelaskan, bahwa Mushashi pun membutuhkan latihan keras. Agar katana di tangannya, yang tentu saja belum ada saat ia lahir, bisa menyatu dan menjadi bagian tubuhnya secara keseluruhan. Seperti ipar saya tersebut, yang selalu berusaha keras agar bisa ngelindur dan bermimpi dalam bahasa asing.
To be honest, ketekunan adalah salah satu hal terberat yang belum bisa saya lakukan. Apalagi buat saya, yang sampai saat ini masih punya beragam (bahkan terlalu banyak) cita-cita. Konsep ketekunan jelas dimengerti banyak orang, tapi untuk mengerjakannya, tunggu dulu. Untuk sesuatu yang jauh ke depan, memang butuh stamina dan juga pengaturan emosi jangka panjang.