Teologi Perang, Justifikasi Kekerasan Atas Nama Tuhan
Oleh Musa Asy'arie
KEKERASAN, peperangan, dan pembunuhan di Ambon, Poso, dan peledakan bom di berbagai kota di Indonesia dilakukan dengan menggunakan justifikasi "agama" atas nama Tuhan. Dalam skala dunia, hal yang sama AS juga merasa berhak bertindak atas nama kebenaran.
Pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush yang menuduh Irak, Korea Utara, Iran, dan Lybia, sebagai poros kejahatan, berarti AS merasa menggenggam kebenaran untuk menyerang mereka. Saddam Hussein tidak mau kalah, mengecam arogansi dan nafsu agresi presiden AS sebagai syaitan besar. Irak menyatakan, Tuhan akan membelanya melawan AS.
Teologi perang dibangun untuk mengklaim Tuhan dan kebenaran di pihak mereka, untuk melegitimasi tindakan melakukan kekerasan atas nama Tuhan.
Fakta tak terbantahkan menunjukkan sejak dulu hingga kini, tidak pernah ada seorang pun yang melahirkan dirinya sendiri. Kelahirannya di dunia selalu terjadi melalui proses panjang yang sepenuhnya berada di luar rencana dan kemauan dirinya. Fakta itu mendorong munculnya pertanyaan aktual sepanjang masa, apakah dan siapakah manusia, dari mana asalnya, dan akan ke mana akhirnya?
Puncak pertanyaan itu sebenarnya ingin menyingkap misteri yang ada di balik proses penciptaan manusia, dan umumnya menunjuk adanya Sang Pencipta, yaitu Tuhan, dan penciptaan adalah bentuk dari eksistensi-Nya.
Konsep tentang Tuhan, mungkin?
Pertanyaan-pertanyaan tentang manusia itu, ternyata tidak hanya berhenti pada dimensi lahiriah, seperti dilakukan dunia sains dan teknologi dengan menguraikan proses penciptaan dan kelahiran manusia secara biologis, geneologis, dan medis, yang kemudian berkembang untuk mengkloningnya. Tetapi di balik seberang lainnya, yang berkait dengan dimensi rohaniah, mempertanyakan hakikatnya dan hidup sesudah kematian, maka sains dan teknologi tidak mampu untuk melanjutkannya, karena keterbatasan metodologinya sendiri yang tidak memungkinkannya menjangkau dimensi rohaniah.
Selanjutnya pertanyaan-pertanyaan itu dikembangkan dalam dunia filsafat untuk menjelajah dataran nilai dan pemaknaan. Bermula dari Yunani yang menjelaskan adanya sebab pertama, prima causa, yang tidak bersebab, penggerak pertama yang tidak bergerak, the first mover unmoved, lahir dari sebuah proses penciptaan yang menunjukkan adanya Pencipta yang berbeda dengan ciptaan. Tetapi filsafat tidak pernah memberi kepastian tentang Sang Pencipta, abstrak, tak terjangkau manusia secara empirik.
Tuhan secara kefilsafatan jadi amat jauh dari realitas hidup manusia di dunia, dan hanya dimengerti melalui konsep. Padahal, konsep tentang Tuhan akhirnya mengalami kegagalan, karena tidak pernah ada konsep Tuhan, yang mampu menggambarkan ketidak-terbatasan dan ketak-terhinggaan-Nya. Konsep selalu berangkat dan berakhir pada batasan.
Kemudian agama mengambil alih dan mengajarkan kepada umat manusia tentang Tuhan, dengan memberitakan keberadaan-Nya melalui firman yang dipercayai datang dari Tuhan, yang tersurat dalam kitab-kitab suci yang diturunkan-Nya, seperti Taurat, Zabur, Injil, Veda, Al Quran, dan lainnya.
Tuhan yang dijelaskan oleh teks dalam firman-Nya adalah Tuhan, karena Tuhan sendiri yang menjelaskan-Nya. Tetapi ketika firman itu dipahami oleh pikiran dan persepsi manusia, maka muncul pemikiran dan persepsi manusia tentang Tuhan. Sayang, pemikiran dan persepsi tentang Tuhan itu selalu terbatas oleh kemampuan pemikiran dan persepsinya sendiri, sehingga tuhan yang dipikirkan dan dipersepsikan itu bukan Tuhan seperti dalam firman-Nya. Selalu ada jarak antara realitas teks dengan subjek yang memikirkan atau mempersepsikannya.
Pluralitas tuhan menuju Tuhan
Dalam realitas kehidupan manusia di dunia ini, terdapat pluralitas yang tidak mungkin ditolak siapa pun, baik pluralitas agama, budaya, suku, bahasa maupun pemikirannya. Dilihat dari aspek kemampuan berpikir manusia, baik kapasitas maupun pengalaman pendidikan yang berjenjang, maka ada pluralitas kemampuan berpikir manusia dalam memahami Tuhan. Karena itu, pada tiap orang sesuai kemampuan berpikirnya, pemikiran tentang Tuhan yang ada dalam realitas kehidupan manusia, dengan sendirinya akan ada pluralitas juga.
Pluralitas pemikiran tentang Tuhan dengan sendirinya akan melahirkan pluralitas tuhan, yaitu tuhan yang ada dalam pikirannya atau yang dipikirkan, dan tuhan yang ada dalam persepsinya atau yang dipersepsikan. Pada hakikatnya, tuhan yang ada dalam pikiran seseorang dan yang dipersepsikan itu bukan Tuhan itu sendiri. Konsekuensinya, pemikiran dan persepsi manusia tentang tuhan tidak boleh dimutlakkan kebenarannya, karena bukan Tuhan tetapi tuhan.
Dalam realitas kehidupan manusia, seringkali pikiran dan persepsi seseorang tentang tuhan dianggap Tuhan, dan karenanya bersifat mutlak. Pemutlakan itu sebenarnya masih dapat ditolerir, jika diberlakukan untuk diri sendiri. Tetapi, ketika pikiran dan persepsinya tentang tuhan dipakai untuk menilai pikiran dan persepsi orang lain tentang tuhan, kemudian menghakimi sesat kebenaran tuhan yang ada pada pikiran dan persepsi tuhan orang lain, maka akan terjadi konflik paham ketuhanan yang sering berujung konflik kekerasan. Mengapa? Karena masing-masing memutlakkan kebenarannya sendiri dan memaksakannya pada orang lain.
Karena itu, jika Tuhan dipakai untuk menjustifikasi tindakan kekerasan atas nama Tuhan, maka tuhan yang dimaksud pastilah bukan Tuhan, tetapi tuhan yang ada dalam pikiran dan persepsinya sendiri. Akibatnya seseorang hanya menyembah pikiran dan persepsinya sendiri tentang tuhan, dan tidak menyembah Tuhan yang menciptakan semuanya yang ada.
Dalam keadaan seperti itu, manusia sudah menghamba pada berhala ideologi yang diciptakannya dan dipertuhankannya. Sebuah tragedi kemanusiaan!
Realitas pemikiran dan persepsi seseorang tentang tuhan yang plural itu, harus diletakkan pada kenisbian manusia, sehingga pluralitas tuhan akan berkembang menjadi pengayaan spiritualitas, karena pluralitas tuhan itu menjadi bagian proses menuju Tuhan. Dalam tahap pengalaman memasuki dimensi Tuhan Yang Mutlak, manusia merasakan, dirinya berhadapan dengan ketidak-terbatasan dan ketakterhinggaan yang tak mungkin dijangkau, dengan implikasi pada penegasan realitas kekecilan dan kekerdilan diri sendiri di hadapan Tuhan. Pada ujungnya pengalaman itu melahirkan sikap rendah hati, santun dan menghormati sesamanya.
Mencegah kekerasan-peperangan
Bagi seorang sufi, Tuhan bukanlah konsep, karena itu memperdebatkan konsep tentang Tuhan berdasar logika hanya akan melelahkan; bahkan menyesatkan. Karena itu, Tuhan harus menjadi bagian pengalaman hidup nyata dan dapat dijalankan dalam praktik hidup sehari-hari. Jika tidak ada kehidupan sama sekali di luar Tuhan, maka kehidupan hanya ada dalam Tuhan sendiri. Ini berarti dalam setiap kehidupan selalu ada Tuhan.
Kesadaran demikian, akan membangkitkan semangat untuk memelihara dan tidak merusak kehidupan bersama. Jalan sufi adalah jalan menuju Ilahi, dengan mulai dari dalam diri sendiri, karena keyakinan bahwa Tuhan ada dalam dirinya, sehingga orang yang tahu dirinya, akan tahu tentang Tuhan-nya, "man ’arafa nafsahu faqad ’arafa Rabbahu’.
Dalam praktik sufi, Tuhan adalah pengalaman hidup nyata, karena itu ke mana saja arah mukamu menghadap, di sanalah wajah Tuhanmu menatap, "wa ainama tuwallu wujuhakum fatsamma wajhullah". Seorang sufi sejati bukanlah mereka yang mengelak dan lari dari tanggung jawab di dunia, tetapi seseorang yang dapat menaklukkan dunia dengan menaklukkan egoismenya sendiri.
Dunia ini akan binasa, jika egoisme dibiarkan merajalela menguasainya, baik yang berupa kekuasaan, kekayaan maupun kekuatan. Ancaman kerusakan dunia dengan kekerasan dan peperangan, apalagi dengan persenjataan mutakhir, akan melahirkan penderitaan dan luka kemanusiaan yang panjang.
Dalam praktik hidup sufi, egoisme harus ditaklukkan dan bila mungkin ditekan ke titik nol, karena energi dan Nur Ilahi akan terserap dalam diri manusia yang sudah terbebas dari kekuasaan egoisme dan hawa nafsu destruktif. Mungkin kita perlu belajar dari dunia sufi guna keluar dari krisis multi-dimensi yang mengancam eksistensi manusia dan kehidupan di dunia ini secara keseluruhan, agar Tuhan hadir secara nyata melalui kasih dan rahmat-Nya merengkuh, menyelamatkan, dan memberi rasa damai bagi semua yang hidup.
Pesan perdamaian dan resolusi konflik, baik sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama yang melanda dunia modern, tidak mungkin jika egoisme masih menguasai pribadi pemimpin bangsa, terutama yang terlibat konflik. Egoisme membuat para pemimpin bertindak seperti tuhan-tuhan kecil, seakan dapat menggenggam kebenaran mutlak dan menjadi kemutlakan, dan kehendaknya harus diikuti, dijadikan rujukan dan menjadi ukuran kebenaran.
Pengalaman sufi menjalani hidup dalam Tuhan adalah kedamaian, keselamatan, dan cinta kasih, tidak akan pernah menghalalkan kekerasan; jangankan menumpahkan darah manusia, menebang pohon pun diharamkannya, karena pohon, binatang, lautan, dan hutan adalah Tuhan, sebagai bentuk eksistensi-Nya, sekaligus menyadari bahwa Tuhan bukanlah pohon, binatang, lautan, hutan, apalagi karya cipta manusia.
Oleh Musa Asy'arie, Guru Besar dan Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta