Pilpres dan fenomena kebangkrutan agama
Oleh Agus Purwanto
Pekerja di Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam (LaFTiFA) ITS;
mantan Vice-President of Saijou-Hiroshima Association
Dalam rentang waktu satu tahun ini kita disodori tiga peristiwa serupa meski tak sama yaitu Inul, AFI, dan pilpres. Ketiganya merupakan jalan menuju puncak yang menyita perhatian publik, fenomenal dan rakyat menjadi penentu akhirnya. Ketiganya juga menyimpan ironi, yakni melibatkan asing dan mengisyaratkan ketakberdayaan agama.
Inul adalah pribadi yang melejit dengan gerak revolusi pinggulnya yang berkecepatan tinggi. Ketika karir ini masih bersifat lokal, yakni dari kampung ke kampung, tidak terdengar tanggapan atasnya. Tetapi begitu naik ke level nasional mulai muncul kritik dan kontroversi. Kritik keras bahkan larangan atas Inul dan Inulisasi direpresentasikan oleh raja dangdut, Rhoma Irama.
Sebenarnya kritik Rhoma ada pada jalur yang benar tetapi wajah sendu, polos, dan kadang tetes air mata Inul membangkitkan simpati massa atasnya dan anti-Rhoma. Singkat kata, Inul menang dan popularitasnya kian meroket. Banyak artis berdecak kagum dan menumpang ketenarannya.
AFI adalah aktivitas kelompok yang mampu memaksa sebagian masyarakat duduk manis di depan teve selama dua jam setiap Sabtu malam dan mendiskusikannya esok hari. Ada tiga juri yang menilai penampilan setiap kontestan AFI tetapi kata akhir tereliminasi tidaknya sang kontestan adalah para pemirsa.
Pemenang akhir AFI pertama adalah Fery, kontestan asal Medan. Penampilannya yang kalem dan cerita yang sempat berkembang sebelumnya bahwa dia berasal dari kalangan wong cilik telah menumbuhkan simpati dan mengalahkan dua pesaing akhirnya, Kia dan Mawar. Para pengamat dan pekerja seni seperti Agus Sutejo Jiwo di salah satu teve swasta mengatakan sebenarnya Kia lebih representatif daripada Fery.
Pemilu 5 Juli merupakan hajatan nasional dengan berbagai suguhan baru yang sangat menarik. Salah satu suguhan tsb adalah debat capres, para capres bebas mengurai argumen, bersumpah dan menjanjikan berbagai layanan gratis bila terpilih. Tetapi keputusan akhir pemenang pilpres adalah rakyat yang memutuskannya di 570.000-an TPS di seluruh pelosok tanah air.
Pemenangnya adalah mereka yang simpatik, tinggi besar, tampan dan pandai menyanyi, serta yang dianiaya dengan fatwa haram. Pasangan paling kredibel dan kompeten yang konon didukung kelompok reformis maupun strong and democratic leader versi iklan kampanye Gus Dur terpaksa harus tersingkir.
Kesamaan dari tiga peristiwa di atas adalah kedaulatan rakyat dan keterlibatan pihak asing. Inul menang dari Rhoma, Fery menjadi nomor satu dan SBY-JK serta Mega-Hasyim masuk pilpres putaran kedua adalah atas kehendak rakyat. Untuk kasus terakhir kita perlu menyampaikan selamat kepada rakyat yang telah menentukan calon pimpinannya lima tahun ke depan secara bebas dan mandiri.
Ketiganya juga melibatkan asing. Inul makin berkibar ketika media asing Newsweek memberitakan perjalanan karirnya secara cukup lengkap. AFI, Indonesian Idol maupun Who Wants to Be a Millioner adalah tayangan impor atau produk asing. Sedangkan pemilu saat ini juga didanai, ditongkrongi dan dipengaruhi orang asing berkedok pengamat, analis maupun akademisi.
Kematian agama
Ketiga peristiwa di atas juga mengisyaratkan satu hal yang perlu dicermati dan disikapi lebih serius. Kuntowijoyo (Kompas, 7/7/2004) dalam kasus politik yang baru berlangsung menyebut dengan istilah pragmatisme religius. Maksudnya, dikotomi sekuler-religius hilang dan semua urusan mempunyai dimensi rasional, ketuhanan dan kemanusiaan. Kunto merujuk fakta bahwa semua pasangan capres-cawapres membawa warna nasionalis-religius.
Bila hanya melihat peristiwa politik pilpres kita mungkin memang harus optimistis seperti akhir tulisan Kunto, siapa pun yang dipilih hasilnya pasti sekuler-religius. Namun menjadi lain bila tiga peristiwa di atas dilihat sebagai satu kesatuan yang kronologis dan hirarkis. Mulanya Inul sebagai individu, kemudian AFI sebagai komunitas panggung Indosiar dan terakhir perhelatan nasional pilpres.
Inul berasal dari keluarga biasa yang cukup aktif dalam mengikuti pengajian di Pasuruan, salah satu kota santri di Jatim. Pasuruan sendiri sempat dua kali mencuri perhatian publik tanah air. Tepatnya ketika Amien Rais dicekal datang di kota tsb beberapa tahun lalu, dan ketika fatwa haram memilih pemimpin perempuan tiga bulan lalu.
Tetapi Inul dan Inulisasi yang berkembang pesat sama sekali tidak merepresentasikan santri dan berbagai atributnya. Santri yang baru belajar mengeja huruf hijaiyah pun tahu bahwa goyang ngebor Inul dilarang untuk dipertontonkan. Uniknya, pemuda-pemuda kampung yang cukup rajin shalat berjamaah di masjid ikut mencemooh Rhoma Irama lantaran pernah memarahi Inul.
Di sini agama menjadi tidak berdaya menyentuh problem Inul dengan kreasinya. Opini yang berkembang adalah goyang ngebor merupakan problem seni dan kreativitas karenanya tidak perlu dilarang. Sesekali diberitakan Inul adalah alumni sekolah Islam dan pandai membaca Alquran untuk membangun opini bahwa sang ratu ngebor adalah sosok kreatif-religius.
Di akhir setiap acara AFI selalu ada peserta yang tereliminasi. Di saat perpisahan yang mengharukan peserta selalu berangkulan satu sama lain sambil --maaf-- mengelus-elus pundak yang tak tertutup kain dan bercium pipi peserta tereliminasi yang lawan jenis sekalipun. Beberapa menit menjelang acara berakhir ada nasihat dari pembina ruhani AFI, "Jangan lupa, rajin sembahyang." AFI pun tampak bagai tontonan artistik-religius. Artinya, seni dengan segala asesorisnya termasuk yang menabrak agama maupun kegiatan ritual seperti sembahyang dapat berjalan berbarengan secara damai.
Kasus pemilu mungkin yang paling seru. Para pemuka agama berdiri berseberangan, saling hajar lalu minta dukungan pada komunitas yang sama. Mereka pun tanpa risih membicarakan pembagian bakal pendapatan dengan rekan yang kebetulan lain dukungannya. Padahal pembicaraan itu ditayangkan media elektronik secara luas. Gus Dur pun terpaksa menjadi 'makelar' dengan meminta orang lain mencoblos pasangan Wiranto-Solah sementara dia sendiri mengulang-ulang pernyataan akan golput.
Umat yang selama ini penurut dan patuh mulai berani mengabaikan pimpinan mereka dan secara bebas menentukan calonnya sendiri. Umat mulai 'rasional' dan tidak takut kuwalat karena tidak mengikuti saran dan ajakan para kiai. Lebih dari itu, umat juga tidak peduli isu 'anti Islam' yang diembuskan pada calon pilihannya, pun tak peduli fatwa haram presiden perempuan.
Peristiwa elite agama selama musim kampanye lalu mengingatkan kita atas perilaku para agamawan di Eropa abad 19 yang tidak sesuai dengan kaidah agama yang banyak dikhutbahkannya. Waktu itu Nietsczhe memberontak dengan teriakan terkenal, "Tuhan telah mati." Protes Nietsczhe cukup relevan diusung ke negeri ini. Inulisasi, AFI dan pemberontakan atas perilaku elit agama serta perilaku elit agama itu sendiri saat pilpres tentu lebih dari sekadar fenomena sekuler-religius melainkan juga kebangkrutan dan kecenderungan pada kematian agama.
Atau boleh juga meminjam istilah Comte, masyarakat Indonesia sedang memasuki zaman ketiga yakni zaman positif. Zaman dengan segala fenomenanya yang tidak lagi memerlukan penjelasan teologis (agama) maupun metafisis.
Menanti kesadaran
Ketiga peristiwa di atas jelas memberi pesan yang memprihatinkan dari perspektif agama. Jepang barangkali dapat dijadikan contoh dari negeri positivistik. Di bulan Desember denyut perayaan Natal dapat dirasakan di seantero Jepang. Uniknya, mereka tidak merasa atau mengaku sebagai umat kristiani. Mereka pun mengaku tidak tahu mengapa harus merayakan Natal selain tahu bahwa Barat melakukan pesta semacam ini di setiap akhir tahun. Dalam banyak kesempatan penulis bertanya kepada mahasiswa S1 sampai S3 perihal agama mereka. Jawabnya seragam, "Tidak tahu" dan mereka merasa tidak beragama, dan mengalami peristiwa keagamaan hanya dalam tiga kesempatan. Ketika lahir disambut secara budhis, menikah secara kristiani dan kembali budhis dalam ritual kematian.
Ketercerabutan cita keagamaan masyarakat Indonesia belum separah masyarakat Jepang. Namun bila melihat ke belakang, misalnya, sepuluh tahun lalu kemudian dibandingkan keadaan saat ini, yang mana perempuan Indonesia berani tampil semi telanjang di televisi tanpa rasa risih sedikit pun maka tidak terlalu berlebihan bila dibayangkan dan diprediksi bahwa dalam satu-dua dasawarsa ke depan kita akan lebih dari Jepang dalam pengasingan agama secara formal dan lebih dari Barat dalam memuja tradisi nudis dan pergaulan bebas.
Kematian agama tidak berarti ateisme yang meniadakan Tuhan, melainkan dikesampingkannya peran agama dan Tuhan sebagaimana pandangan dunia mekanik (mechanical world view). Tuhan dan ciptaanNya diibaratkan sebagai clockmaker dan jam yang dibuatnya. Mulanya sang pembuat jam berpikir keras jam macam apa yang akan dibuatnya, setelah ide muncul jam pun dibuat dan kemudian dibiarkan berjalan sendiri sampai rusak. Singkatnya, Tuhan telah pensiun dari kesibukan proses penciptaan mahluk.
Dalam era kematian agama barangkali Tuhan masih disebut-sebut bahkan secara hiruk-pikuk. Namun penyebutan itu telah kehilangan makna transendentalnya. Penyebutan itu pun tak lebih dari sekadar menyebut-nyebut perihal jenazah yang ada di depan kita sementara kita bebas melakukan apa saja tanpa segan dan malu di depannya.
Itulah gambaran keagamaan masyarakat Indonesia yang terefleksi dari tiga serangkai peristiwa Inul, AFI, dan pilpres. Para elit harus membumikan ajaran agama dan tidak boleh memperdagangkan dan mempermainkan agama. Elite Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Irsyad dan yang lainnya tidak boleh gampang dibeli. Aktivis HMI, PMII, IMM, KAMMI dan berbagai kelompok pengajian kampus tidak boleh disewa untuk demo atau pun berebut duduk di belakang saat ujian apalagi nyontek. Sedikit kesalahan mereka akan mempercepat proses kematian agama di negeri ini. Sebab, merekalah simbol dan bukti doktrin agama terdekat yang dapat dilihat langsung massa kebanyakan.
[sumber]
Oleh Agus Purwanto
Pekerja di Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam (LaFTiFA) ITS;
mantan Vice-President of Saijou-Hiroshima Association
Dalam rentang waktu satu tahun ini kita disodori tiga peristiwa serupa meski tak sama yaitu Inul, AFI, dan pilpres. Ketiganya merupakan jalan menuju puncak yang menyita perhatian publik, fenomenal dan rakyat menjadi penentu akhirnya. Ketiganya juga menyimpan ironi, yakni melibatkan asing dan mengisyaratkan ketakberdayaan agama.
Inul adalah pribadi yang melejit dengan gerak revolusi pinggulnya yang berkecepatan tinggi. Ketika karir ini masih bersifat lokal, yakni dari kampung ke kampung, tidak terdengar tanggapan atasnya. Tetapi begitu naik ke level nasional mulai muncul kritik dan kontroversi. Kritik keras bahkan larangan atas Inul dan Inulisasi direpresentasikan oleh raja dangdut, Rhoma Irama.
Sebenarnya kritik Rhoma ada pada jalur yang benar tetapi wajah sendu, polos, dan kadang tetes air mata Inul membangkitkan simpati massa atasnya dan anti-Rhoma. Singkat kata, Inul menang dan popularitasnya kian meroket. Banyak artis berdecak kagum dan menumpang ketenarannya.
AFI adalah aktivitas kelompok yang mampu memaksa sebagian masyarakat duduk manis di depan teve selama dua jam setiap Sabtu malam dan mendiskusikannya esok hari. Ada tiga juri yang menilai penampilan setiap kontestan AFI tetapi kata akhir tereliminasi tidaknya sang kontestan adalah para pemirsa.
Pemenang akhir AFI pertama adalah Fery, kontestan asal Medan. Penampilannya yang kalem dan cerita yang sempat berkembang sebelumnya bahwa dia berasal dari kalangan wong cilik telah menumbuhkan simpati dan mengalahkan dua pesaing akhirnya, Kia dan Mawar. Para pengamat dan pekerja seni seperti Agus Sutejo Jiwo di salah satu teve swasta mengatakan sebenarnya Kia lebih representatif daripada Fery.
Pemilu 5 Juli merupakan hajatan nasional dengan berbagai suguhan baru yang sangat menarik. Salah satu suguhan tsb adalah debat capres, para capres bebas mengurai argumen, bersumpah dan menjanjikan berbagai layanan gratis bila terpilih. Tetapi keputusan akhir pemenang pilpres adalah rakyat yang memutuskannya di 570.000-an TPS di seluruh pelosok tanah air.
Pemenangnya adalah mereka yang simpatik, tinggi besar, tampan dan pandai menyanyi, serta yang dianiaya dengan fatwa haram. Pasangan paling kredibel dan kompeten yang konon didukung kelompok reformis maupun strong and democratic leader versi iklan kampanye Gus Dur terpaksa harus tersingkir.
Kesamaan dari tiga peristiwa di atas adalah kedaulatan rakyat dan keterlibatan pihak asing. Inul menang dari Rhoma, Fery menjadi nomor satu dan SBY-JK serta Mega-Hasyim masuk pilpres putaran kedua adalah atas kehendak rakyat. Untuk kasus terakhir kita perlu menyampaikan selamat kepada rakyat yang telah menentukan calon pimpinannya lima tahun ke depan secara bebas dan mandiri.
Ketiganya juga melibatkan asing. Inul makin berkibar ketika media asing Newsweek memberitakan perjalanan karirnya secara cukup lengkap. AFI, Indonesian Idol maupun Who Wants to Be a Millioner adalah tayangan impor atau produk asing. Sedangkan pemilu saat ini juga didanai, ditongkrongi dan dipengaruhi orang asing berkedok pengamat, analis maupun akademisi.
Kematian agama
Ketiga peristiwa di atas juga mengisyaratkan satu hal yang perlu dicermati dan disikapi lebih serius. Kuntowijoyo (Kompas, 7/7/2004) dalam kasus politik yang baru berlangsung menyebut dengan istilah pragmatisme religius. Maksudnya, dikotomi sekuler-religius hilang dan semua urusan mempunyai dimensi rasional, ketuhanan dan kemanusiaan. Kunto merujuk fakta bahwa semua pasangan capres-cawapres membawa warna nasionalis-religius.
Bila hanya melihat peristiwa politik pilpres kita mungkin memang harus optimistis seperti akhir tulisan Kunto, siapa pun yang dipilih hasilnya pasti sekuler-religius. Namun menjadi lain bila tiga peristiwa di atas dilihat sebagai satu kesatuan yang kronologis dan hirarkis. Mulanya Inul sebagai individu, kemudian AFI sebagai komunitas panggung Indosiar dan terakhir perhelatan nasional pilpres.
Inul berasal dari keluarga biasa yang cukup aktif dalam mengikuti pengajian di Pasuruan, salah satu kota santri di Jatim. Pasuruan sendiri sempat dua kali mencuri perhatian publik tanah air. Tepatnya ketika Amien Rais dicekal datang di kota tsb beberapa tahun lalu, dan ketika fatwa haram memilih pemimpin perempuan tiga bulan lalu.
Tetapi Inul dan Inulisasi yang berkembang pesat sama sekali tidak merepresentasikan santri dan berbagai atributnya. Santri yang baru belajar mengeja huruf hijaiyah pun tahu bahwa goyang ngebor Inul dilarang untuk dipertontonkan. Uniknya, pemuda-pemuda kampung yang cukup rajin shalat berjamaah di masjid ikut mencemooh Rhoma Irama lantaran pernah memarahi Inul.
Di sini agama menjadi tidak berdaya menyentuh problem Inul dengan kreasinya. Opini yang berkembang adalah goyang ngebor merupakan problem seni dan kreativitas karenanya tidak perlu dilarang. Sesekali diberitakan Inul adalah alumni sekolah Islam dan pandai membaca Alquran untuk membangun opini bahwa sang ratu ngebor adalah sosok kreatif-religius.
Di akhir setiap acara AFI selalu ada peserta yang tereliminasi. Di saat perpisahan yang mengharukan peserta selalu berangkulan satu sama lain sambil --maaf-- mengelus-elus pundak yang tak tertutup kain dan bercium pipi peserta tereliminasi yang lawan jenis sekalipun. Beberapa menit menjelang acara berakhir ada nasihat dari pembina ruhani AFI, "Jangan lupa, rajin sembahyang." AFI pun tampak bagai tontonan artistik-religius. Artinya, seni dengan segala asesorisnya termasuk yang menabrak agama maupun kegiatan ritual seperti sembahyang dapat berjalan berbarengan secara damai.
Kasus pemilu mungkin yang paling seru. Para pemuka agama berdiri berseberangan, saling hajar lalu minta dukungan pada komunitas yang sama. Mereka pun tanpa risih membicarakan pembagian bakal pendapatan dengan rekan yang kebetulan lain dukungannya. Padahal pembicaraan itu ditayangkan media elektronik secara luas. Gus Dur pun terpaksa menjadi 'makelar' dengan meminta orang lain mencoblos pasangan Wiranto-Solah sementara dia sendiri mengulang-ulang pernyataan akan golput.
Umat yang selama ini penurut dan patuh mulai berani mengabaikan pimpinan mereka dan secara bebas menentukan calonnya sendiri. Umat mulai 'rasional' dan tidak takut kuwalat karena tidak mengikuti saran dan ajakan para kiai. Lebih dari itu, umat juga tidak peduli isu 'anti Islam' yang diembuskan pada calon pilihannya, pun tak peduli fatwa haram presiden perempuan.
Peristiwa elite agama selama musim kampanye lalu mengingatkan kita atas perilaku para agamawan di Eropa abad 19 yang tidak sesuai dengan kaidah agama yang banyak dikhutbahkannya. Waktu itu Nietsczhe memberontak dengan teriakan terkenal, "Tuhan telah mati." Protes Nietsczhe cukup relevan diusung ke negeri ini. Inulisasi, AFI dan pemberontakan atas perilaku elit agama serta perilaku elit agama itu sendiri saat pilpres tentu lebih dari sekadar fenomena sekuler-religius melainkan juga kebangkrutan dan kecenderungan pada kematian agama.
Atau boleh juga meminjam istilah Comte, masyarakat Indonesia sedang memasuki zaman ketiga yakni zaman positif. Zaman dengan segala fenomenanya yang tidak lagi memerlukan penjelasan teologis (agama) maupun metafisis.
Menanti kesadaran
Ketiga peristiwa di atas jelas memberi pesan yang memprihatinkan dari perspektif agama. Jepang barangkali dapat dijadikan contoh dari negeri positivistik. Di bulan Desember denyut perayaan Natal dapat dirasakan di seantero Jepang. Uniknya, mereka tidak merasa atau mengaku sebagai umat kristiani. Mereka pun mengaku tidak tahu mengapa harus merayakan Natal selain tahu bahwa Barat melakukan pesta semacam ini di setiap akhir tahun. Dalam banyak kesempatan penulis bertanya kepada mahasiswa S1 sampai S3 perihal agama mereka. Jawabnya seragam, "Tidak tahu" dan mereka merasa tidak beragama, dan mengalami peristiwa keagamaan hanya dalam tiga kesempatan. Ketika lahir disambut secara budhis, menikah secara kristiani dan kembali budhis dalam ritual kematian.
Ketercerabutan cita keagamaan masyarakat Indonesia belum separah masyarakat Jepang. Namun bila melihat ke belakang, misalnya, sepuluh tahun lalu kemudian dibandingkan keadaan saat ini, yang mana perempuan Indonesia berani tampil semi telanjang di televisi tanpa rasa risih sedikit pun maka tidak terlalu berlebihan bila dibayangkan dan diprediksi bahwa dalam satu-dua dasawarsa ke depan kita akan lebih dari Jepang dalam pengasingan agama secara formal dan lebih dari Barat dalam memuja tradisi nudis dan pergaulan bebas.
Kematian agama tidak berarti ateisme yang meniadakan Tuhan, melainkan dikesampingkannya peran agama dan Tuhan sebagaimana pandangan dunia mekanik (mechanical world view). Tuhan dan ciptaanNya diibaratkan sebagai clockmaker dan jam yang dibuatnya. Mulanya sang pembuat jam berpikir keras jam macam apa yang akan dibuatnya, setelah ide muncul jam pun dibuat dan kemudian dibiarkan berjalan sendiri sampai rusak. Singkatnya, Tuhan telah pensiun dari kesibukan proses penciptaan mahluk.
Dalam era kematian agama barangkali Tuhan masih disebut-sebut bahkan secara hiruk-pikuk. Namun penyebutan itu telah kehilangan makna transendentalnya. Penyebutan itu pun tak lebih dari sekadar menyebut-nyebut perihal jenazah yang ada di depan kita sementara kita bebas melakukan apa saja tanpa segan dan malu di depannya.
Itulah gambaran keagamaan masyarakat Indonesia yang terefleksi dari tiga serangkai peristiwa Inul, AFI, dan pilpres. Para elit harus membumikan ajaran agama dan tidak boleh memperdagangkan dan mempermainkan agama. Elite Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Irsyad dan yang lainnya tidak boleh gampang dibeli. Aktivis HMI, PMII, IMM, KAMMI dan berbagai kelompok pengajian kampus tidak boleh disewa untuk demo atau pun berebut duduk di belakang saat ujian apalagi nyontek. Sedikit kesalahan mereka akan mempercepat proses kematian agama di negeri ini. Sebab, merekalah simbol dan bukti doktrin agama terdekat yang dapat dilihat langsung massa kebanyakan.
[sumber]