Diusulkan Empat Kelompok Penghasilan Pribadi
Jakarta, Kompas - Wajib pajak yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak terancam harus membayar Pajak Penghasilan lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan dengan wajib pajak yang memiliki nomor pokok wajib pajak.
Hal itu diusulkan untuk wajib pajak (WP) yang dikenakan PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23, sementara untuk PPh Pasal 21 hanya dikenakan 20 persen lebih tinggi dibandingkan dengan WP yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Ketua Tim Rancangan Undang-undang PPh sekaligus Direktur PPh Ditjen Pajak Sumihar Petrus Tambunan mengungkapkan hal tersebut saat berbicara dalam lokakarya ”Tinjauan Atas Rancangan Perubahan Undang-undang Perpajakan Nasional oleh Pemerintah”, Sabtu (16/7) di Jakarta.
Sumihar menegaskan, pembedaan tarif pemungutan antara WP ber-NPWP dan tidak ber- NPWP itu dilakukan untuk meningkatkan basis pungutan pajak. Kebijakan itu diharapkan akan meningkatkan kepatuhan WP dalam membayar pajak dan mendaftarkan diri sukarela.
”Kepatuhan itu kami harap akan tumbuh karena WP yang memiliki NPWP akan membayar pajak lebih ringan dibandingkan yang tidak. Misalkan, orang yang memiliki deposito akan dipungut PPh 20 persen jika memiliki NPWP, tetapi yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan 40 persen,” kata Sumihar.
Akademisi Fisip Universitas Indonesia, M Nuryadi, mengatakan, pembedaan itu justru menyiratkan adanya izin untuk tidak memiliki NPWP. Itu bisa terjadi jika WP merasa tidak keberatan dengan pembayaran PPh Pasal 21, 22, dan 23 yang lebih mahal.
”Jika mereka bersedia dipungut sampai 100 persen lebih tinggi, maka mereka tidak akan dikenakan sanksi perpajakan. Pemerintah harus menelusuri lebih jauh penyebab rendahnya keinginan wajib pajak untuk memiliki NPWP. Antara lain adalah karena merasa lebih aman dari pengenaan pajak sehingga mereka memilih tidak mendaftarkan diri,” kata Nuryadi.
Pembedaan tarif pemungutan PPh itu merupakan bagian dari RUU PPh yang saat ini sedang digodok oleh Tim RUU Perpajakan. Selain RUU PPh, pemerintah juga sedang mempersiapkan RUU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) serta RUU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang seluruhnya diharapkan dapat diusulkan ke DPR pada bulan Agustus 2005.
Empat kelompok
Sumihar mengatakan, dalam RUU PPh diusulkan juga mengenai penyederhanaan tarif pajak orang pribadi dari lima kelompok lapisan penghasilan menjadi empat kelompok.
Dengan perubahan ini, kelompok berpenghasilan di bawah Rp 25 juta dengan kelompok berpenghasilan antara Rp 25 juta-Rp 50 juta digabungkan menjadi satu, yakni kelompok wajib pajak berpenghasilan di bawah Rp 50 juta dengan tarif sebesar lima persen.
”Sementara kelompok di atasnya tetap, yakni dengan tarif 15 persen untuk kelompok berpenghasilan antara Rp 50 juta-Rp 100 juta, 25 persen untuk penghasilan antara Rp 100 juta-Rp 200 juta, dan tarif 35 persen untuk kelompok berpenghasilan di atas Rp 200 juta. Khusus untuk tarif tertinggi sudah harus diturunkan menjadi 30 persen dalam lima tahun ini,” kata Sumihar.
Penyederhanaan lainnya akan dilakukan pada tarif pajak PPh Badan, yakni dari tiga tarif menjadi tarif tunggal, yakni sebesar 30 persen. Tarif tunggal tersebut akan diturunkan menjadi 25 persen dalam jangka waktu lima tahun. (OIN)
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0507/18/ekonomi/1901447.htm
Jakarta, Kompas - Wajib pajak yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak terancam harus membayar Pajak Penghasilan lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan dengan wajib pajak yang memiliki nomor pokok wajib pajak.
Hal itu diusulkan untuk wajib pajak (WP) yang dikenakan PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23, sementara untuk PPh Pasal 21 hanya dikenakan 20 persen lebih tinggi dibandingkan dengan WP yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Ketua Tim Rancangan Undang-undang PPh sekaligus Direktur PPh Ditjen Pajak Sumihar Petrus Tambunan mengungkapkan hal tersebut saat berbicara dalam lokakarya ”Tinjauan Atas Rancangan Perubahan Undang-undang Perpajakan Nasional oleh Pemerintah”, Sabtu (16/7) di Jakarta.
Sumihar menegaskan, pembedaan tarif pemungutan antara WP ber-NPWP dan tidak ber- NPWP itu dilakukan untuk meningkatkan basis pungutan pajak. Kebijakan itu diharapkan akan meningkatkan kepatuhan WP dalam membayar pajak dan mendaftarkan diri sukarela.
”Kepatuhan itu kami harap akan tumbuh karena WP yang memiliki NPWP akan membayar pajak lebih ringan dibandingkan yang tidak. Misalkan, orang yang memiliki deposito akan dipungut PPh 20 persen jika memiliki NPWP, tetapi yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan 40 persen,” kata Sumihar.
Akademisi Fisip Universitas Indonesia, M Nuryadi, mengatakan, pembedaan itu justru menyiratkan adanya izin untuk tidak memiliki NPWP. Itu bisa terjadi jika WP merasa tidak keberatan dengan pembayaran PPh Pasal 21, 22, dan 23 yang lebih mahal.
”Jika mereka bersedia dipungut sampai 100 persen lebih tinggi, maka mereka tidak akan dikenakan sanksi perpajakan. Pemerintah harus menelusuri lebih jauh penyebab rendahnya keinginan wajib pajak untuk memiliki NPWP. Antara lain adalah karena merasa lebih aman dari pengenaan pajak sehingga mereka memilih tidak mendaftarkan diri,” kata Nuryadi.
Pembedaan tarif pemungutan PPh itu merupakan bagian dari RUU PPh yang saat ini sedang digodok oleh Tim RUU Perpajakan. Selain RUU PPh, pemerintah juga sedang mempersiapkan RUU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) serta RUU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang seluruhnya diharapkan dapat diusulkan ke DPR pada bulan Agustus 2005.
Empat kelompok
Sumihar mengatakan, dalam RUU PPh diusulkan juga mengenai penyederhanaan tarif pajak orang pribadi dari lima kelompok lapisan penghasilan menjadi empat kelompok.
Dengan perubahan ini, kelompok berpenghasilan di bawah Rp 25 juta dengan kelompok berpenghasilan antara Rp 25 juta-Rp 50 juta digabungkan menjadi satu, yakni kelompok wajib pajak berpenghasilan di bawah Rp 50 juta dengan tarif sebesar lima persen.
”Sementara kelompok di atasnya tetap, yakni dengan tarif 15 persen untuk kelompok berpenghasilan antara Rp 50 juta-Rp 100 juta, 25 persen untuk penghasilan antara Rp 100 juta-Rp 200 juta, dan tarif 35 persen untuk kelompok berpenghasilan di atas Rp 200 juta. Khusus untuk tarif tertinggi sudah harus diturunkan menjadi 30 persen dalam lima tahun ini,” kata Sumihar.
Penyederhanaan lainnya akan dilakukan pada tarif pajak PPh Badan, yakni dari tiga tarif menjadi tarif tunggal, yakni sebesar 30 persen. Tarif tunggal tersebut akan diturunkan menjadi 25 persen dalam jangka waktu lima tahun. (OIN)
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0507/18/ekonomi/1901447.htm