Ketoprak Gaul (donnybu) |
Pada sesi pembukaan, saya mencoba mengawali dengan pertanyaan, "ada yang bisa menjelaskan tentang konvergensi?" Hening! "Atau setidaknya siapa yang pernah mendengarnya," tanya saya agak mendesak. Sedetik dua detik, kemudian salah satu dari peserta menjawab, "saya pernah baca di koran, tetapi tidak tahu artinya."
Sontak saya berpikir, jangan-jangan memang tidak pada tempatnya saya menanyakan tentang konvergensi kepada mereka. Lho, tetapi konvergensi kan juga "menyeret" media (massa) juga, tidak sekedar teknologinya saja. Harusnya, setidaknya menurut saya, sebagai mahasiswa komunikasi mereka tahu tentang konvergensi.
Konvergensi TI
Penasaran, saya lemparkan pertanyaan lain kepada mereka, "adakah yang sudah mendapatkan materi pengantar teknologi informasi, seperti internet atau komputer pada semester-semester sebelumnya?" Respon mereka bisa ditebak, celingak-celinguk kebingungan. Alamak, padahal saat itu saya tengah berdiri di dalam sebuah ruang kelas yang dipenuhi dengan PC multimedia tercanggih, full akses Internet, dengan rasio 1 PC untuk 1 mahasiswa.
Saya tidak tahu kesalahan ada dimana. Pikir saya saat itu, semangat yang melandasi lahirnya jurnalisme online adalah terakselerasinya diseminasi informasi melalui teknologi informasi (TI). Dan dengan semangat konvergensi, jurnalisme online kini sudah tak sama dengan sekedar meng-online-kan media massa.
Ketika media massa sudah bisa dibaca, didengar ataupun ditonton melalui ponsel, ketika citizen journalism atawa blog makin diperhitungkan keberadaannya, dan ketika tingkat partisipasi dan interaksi audience menjadi salah satu penentu kualitas suatu berita, maka agak berat rasanya jika kita bicara konvergensi, apalagi soal tren jurnalisme, tanpa dibarengi dengan pemahaman tentang TI yang cukup.
Bahkan sekelebat saya sempat berpikir, yang disebut "online" seharusnya medianya, bukan "jurnalisme"-nya. Karena kaidah jurnalistik tidak membedakan antara yang online maupun yang tidak. Online atau tidak hanyalah menegaskan pada "melalui apa" suatu berita disampaikan kepada pembaca, bukan pada "bagaimana" berita itu dibuat.
Tidak Wajib
Karena akan aneh rasanya jika nanti orang terbiasa membaca berita melalui ponsel, kemudian lahirlah "mobile journalism", alias jurnalisme bergerak. Kalau ada jurnalisme bergerak, berarti ada jurnalisme yang tidak bergerak? Kalau memang ada jurnalisme online, berarti ada jurnalisme offline? Ah, itu tak penting untuk dipikirkan sekarang. Nanti sajalah.
Pikiran saya pun segera beralih pada kejadian beberapa bulan silam, ketika saya mengikuti rapat antar fakultas ekonomi se-Jakarta di suatu kampus daerah Senayan. Salah satu topik yang dibahas saat itu adalah tentang wajib-tidaknya mata kuliah semacam pengantar teknologi informasi diajakan di jurusan non-eksakta, semisal jurusan akuntansi ataupun manajemen.
Ketika itu saya menyampaikan argumen saya tentang pentingnya pemahaman dasar tentang TI didapatkan oleh seluruh mahasiswa, tidak peduli apapun jurusannya. Sayang, keputusan yang diambil ketika itu adalah "tidak wajib".
Alasannya, "kami tidak punya cukup sumber daya untuk menjalankan mata kuliah tentang TI." Sumber daya yang dimaksud adalah dari soal infrastruktur, materi hingga tenaga pengajar.
Tukang Ketoprak
Saya punya keyakinan, TI bukan milik kaum teknokrat, mahasiswa eksakta/komputer ataupun orang teknis belaka. Ilmu TI haruslah ilmu melayani, termasuk melayani ilmu lainnya, semisal ilmu ekonomi ataupun sosial. Sehingga menggunakan TI tidaklah demi TI itu sendiri, tetapi bagi aspek kehidupan bermasyarakat, semisal berpolitik ataupun berberkomunikasi.
Sehingga keberanian mengaku sebagai orang TI seharusnya sejalan dengan kemauan dan kemampuan untuk melayani (orang lain), bukan malah menghujat, mengecam ataupun memaki sesuatu ataupun seseorang atas nama TI.
Jadi, saya "terpaksa" maklum sembari tersenyum kecut, ketika kini menghadapi mahasiswa yang nyaris buta TI, termasuk Internet. Pikiran saya menerawang kembali, ketika beberapa bulan silam berbincang dengan abang tukang ketoprak yang rutin lewat depan rumah saya di Depok.
"Sudah pernah pakai Internet?" tanya saya penasaran kepada si abang, lantaran saya melihat tulisan "www.gaul.com" pada bagian depan gerobak ketopraknya.
"Wah ya saya tahunya ya cuma tempatnya aja, di warnet-warnet," jawab si abang. "Tetapi saya mau coba pakai (Internet) kapan-kapan," tambahnya. Sempat kaget juga saya, ketika sejurus kemudian dia lumayan fasih menceritakan apa yang dia pahami tentang Internet.
Saya kembali tersadar tengah di depan kelas dengan mahasiswa yang sedang ketak-ketik di keyboard, entah mengetik apa. Saya lantas merenung, "nah lho, tukang ketoprak saja sudah (mau) pakai Internet..."
(dbu)