Skip to main content

LOW TRUST SOCIETY

LOW TRUST SOCIETY
Oleh: Rhenald Kasali
(Pengajar Program MM dan Pascasarjana UI)
  
Saya baru saja memeriksa ujian mahasiswa saya. Ketika akan menyerahkan nilai akhir Mereka, saya terpaksa menoleh kepada berita acara ujian yang mencantumkan nama beserta tanda tangan mereka masing-masing. Astaga. Tak Ada satu pun nama yang dapat saya kenali dari tanda tangannya. Hal ini mengingatkan saya pada peristiwa unik yang saya alami hampir tujuh tahun silam ketika baru saja memulai  program doktoral saya di Amerika Serikat.

Baru tiba beberapa hari, adviser saya menyuruh saya membuka bank account di bank mana saja di kota itu. Saya pun menurutinya. Maklum, tanpa punya buku cek, hidup di Amerika akan terasa sulit. Hampir semua transaksi dilakukan melalui pos. Bayar listrik, telepon, air, tagihan kartu kredit, beli buku, bayar pajak, kena tiket lalu lintas (tilang), sampai bayar uang sekolah. Semuanya menggunakan cek. Tanpa cek, hidup di Amerika kok rasanya susah sekali.
  
Setelah punya bank account dan mulai berbelanja dengan menggunakan cek, ternyata saya pun mengalami kesulitan. Pasalnya, petugas bank memanggil saya karena mengalami kesulitan membaca tanda tangan saya. Saya mencoba menjelaskannya bahwa itu benar tanda tangan milik saya, dan saya melakukannya kembali di depan petugas itu. Petugas tetap menolak dan mengatakan itu bukan tanda tangan. Kalau bukan tanda tangan lantas apa? "Itu urek-urek!"ujarnya sambil tersenyum. Sejak itu saya pun mulai berlatih membuat tanda tangan baru, yaitu tanda tangan yang namanya mudah teridentifikasi. Maka, sejak saat itu saya mulai terbiasa memiliki dua jenis tanda tangan. Saya menyebutnya satu tanda tangan lokal (yang dikatakan urek-urek tadi) dan satu lagi tanda tangan Amerika.  Kalau Anda pernah hadir dalam seminar saya dan meminta saya menandatangani buku saya yang Anda baru beli, Anda pasti ingat bahwa saya selalu mengatakan itu adalah tanda tangan Amerika: mudah dibaca dan diidentifikasi. Ada juga pembaca yang minta dua-duanya, dan ada kalanya saya pun meluluskannya. Tanda tangan lokal  itu biasanya hanya saya gunakan untuk urusan bank Dan menandatangani transkrip nilai mahasiswa. Dalam salah satu seminar saya pernah meminta agar para peserta menggoreskan tanda tangannya di atas kertas dan meminta rekan di sebelahnya yang baru dikenalnya mengenali nama mereka. Ternyata tak banyak di antara mereka yang dapat mengenali nama orang dari tanda tangannya. Ketika ditanya mengapa mereka membuat tanda tangan seruwet itu, semuanya menjawab bak koor: "Biar tidak mudah ditiru orang lain." Mengapa kita semua melakukan hal yang sama? Mudah ditebak jawabnya.
  
Sejak kecil Kita telah diajari orang-orang tua dan guru-guru Kita agar tidak mudah percaya pada orang lain. "Buatlah tanda tangan yang tidak mudah ditiru agar jangan sampai dipalsukan orang lain." Kita menurutinya, dan tanpa kita sadari roh-roh ketidakpercayaan ini sudah melekat dalam pikiran kita.  "Trust," kata Francis Fukuyama, adalah "the social virtues and the creation of prosperity." Rasa percaya adalah suatu ikatan sosial yang penting untuk menciptakan kemakmuran. Kalau tidak ada rasa percaya, mestinya tidak ada bisnis. Bagaimana  mungkin kita berbinsis dengan orang yang tidak Kita percaya? Rasa percaya itu pula yang akan menentukan bangunan organisasi perusahaan saudara. Makin rendah rasa percaya kita terhadap orang lain, makin banyak pula kita melibatkan sanak saudara kita, teman sealmamater, sesuku dan sebagainya terlibat dalam bisnis kita. Kita makin menutup pintu bagi orang lain. Dan akibatnya potensi kita untuk menjadi besar akan terhambat.  
  
Pengalaman lainnya yang saya dapatkan di Amerika barangkali dapat menjelaskan betapa berbedanya tingkat rasa percaya. Menjelang pulang ke tanah air, setelah menyelesaikan program studi, saya pun melakukan moving sale melego barang-barang yang nilai bukunya masih cukup tinggi. Misalnya saja Ada sebuah dish washer (mesin pencuci piring) elektrik yang usianya baru tiga tahun Dan nilainya masih cukup tinggi namun harus dilepas dengan harga yang sangat murah. Pembelinya tentu saja masyarakat komunitas tempat tinggal kami, yang umumnya adalah keluarga muda atau para mahasiswa asing yang dari mancanegara.  Kalau calon pembelinya datang dari negara-negara seperti Rusia, Yugoslavia, Ceko, Turki, Portugal, Brazil, Irak, Pakistan, India, atau negara-negara Afrika, biasanya transaksi berjalan tersendat-sendat. Mereka umumnya tidak percaya terhadap kualitas mesin (apakah masih tetap baik) dan harga yang ditawarkan. Mereka mengutak-atik mesin, menghabiskan waktu berjam-jam, mengajukan pertanyaan, lalu menawar di bawah separo dari harga yang ditawarkan. Prosesnya sama  seperti Anda menawar harga sepasang sepatu di pasar Senen atau pasar lainnya di Indonesia. Dan akhirnya pun dapat diterka: tidak ada transaksi.  Hal yang berbeda dialami kalau pembelinya berasal dari negara-negara yang barangkali dapat kita sebut sebagai high trust society, seperti Amerika, Inggris, Finlandia, bahkan Jepang yang rata-rata sudah lebih makmur  hidupnya. Mereka cuma bertanya tiga hal: mengapa dijual, apakah ada kerusakan, dan berapa harganya. Kalau mereka suka, mereka tidak menawar, langsung angkat. Dalam kepala mereka, kalau barang ini rusak maka mereka akan kembalikan segera. Mereka percaya bahwa orang lain dapat dipercaya, dan kalau mereka menipu mereka akan ditangkap polisi, diadili, dan dijatuhi hukuman.  
  
Pembaca, apakah implikasi melakukan kegiatan bisnis di sebuah low trust society? Mudah-mudahan Saudara sudah dapat menangkapnya: jangan langsung melakukan transaksi. Selalu mulailah dengan membangun rasa percaya dari lawan-lawan bisnis Anda. Jangan sesekali melakukan penawaran kalau lawan bisnis Anda di sini belum mengenal betul Anda. Kalau ada jalan pintas yang dapat ditawarkan, barangkali cuma satu ini: carilah jembatan melalui orang-orang yang sudah dikenal dan dipercaya oleh lawan bisnis Anda. Tanpa itu, Anda cuma melakukan upaya sia-sia. Saya merindukan, kelak anak-anak kita akan membuat tanda tangan yang namanya dapat dibaca oleh orang lain.

Popular posts from this blog

Contoh Checklist saat beli mobil bekas

Diambil dari Majalah AutoBild Edisi 54 100 Checklist Mobil Bekas Berkualitas Kriteria Penilaian : (A) Problem minor. Biasanya karena habis dipakai dan normal terjadi di mobil yang sudah berumur. Tapi hal ini bisa dijadikan bahan negosiasi harga. Dan jika mobilnya masih relatif baru, problem ini juga bisa berarti biaya mahal. (B) Cacat yang bisa menjadi serius, jika membutuhkan investigasi lebih lanjut. (C) Kemungkinan adalah problem serius yang mahal dan sulit diperbaiki hingga normal. (D) JANGAN beli mobil ini!!!!!!!!!! Kesan Pertama 1. Dimana anda mobil tersebut? Jika diperlukan, dapatkah Anda menemukan penjualnya kembali? (D) 2. Apakah alamat penjualnya jelas? (D) 3. Bicara langsung ke penjual; apakah pertanyaan Anda dijawab dengan sigap? (D) 4. Lihat dan perhatikan sisi kendaraan, apakah terlihat lurus dan simetris? (D) 5. Periksa setiap sisi untuk mengenali kerusakan berat. (C) 6. Periksa celah antar panel, seharusnya rata dan konsisten. Jika tidak, ada kemungkinan...

Daftar Alamat Bank Jabar Banten (BJB) Jakarta

Alamat dan telpon Kantor Cabang , Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor Kas Bank Jabar dan Banten yang berlokasi di Jakarta meliputi wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur , Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan Kantor Cabang - Bank Jabar Banten - Jakarta Nama KC Alamat Telpon Fax JAKARTA Bank DEVISA Jl.Jend.Sudirman Kav.2 Gedung Arthaloka Lt.Dasar & Lt.4 Jakarta Pusat 021-2511448, 2511449 021-2511450, 2514415 HASYIM ASHARI Jl. KH. Hasyim Ashari No. 32-34, Jakarta Pusat 021-6330676 021-6324430 MANGGA DUA Gedung Masterina Jl. Mangga Dua Raya Blok F1 No. 1-3 Jakarta Pusat 021-62204094, 62204095, 62204096 021-62204093 KEBAYORAN BARU Graha Iskandarsyah Lt. 2 JL. Iskandarsyah Raya no. 66 C Kebayoran Baru 12160 - Jakarta Selatan 021-7229777, 7207334 021-7206990, 7209941 RAWAMANGUN Jl. Pemuda No. 97 Kec. Pulogadung - Jakarta Timur 021-47861771, 47868072, 47868073 021-47863209 Kantor Cabang Pembantu - Bank Jabar Banten - Jakarta NAMA KCP ALAMAT TELPON ...

Nomor Telepon Marshanda

Selingan. Buat bacaan ringan :D -ivo ---------- Forwarded message ---------- Date: Jul 24, 2005 7:57 PM Subject: Tanya Contact Person Marshanda & Delon Sejak gue makin keranjingan internet, gue memutuskan untuk masang line telepon sendiri di kamar.  Tadinya gue happy banget punya line sendiri, sampe akhirnya gue mulai diganggu telepon-telepon misterius. [kriiing] "Halo..." "Halo... Caca ada?" "Oh salah sambung." [klik] [kriiing] "Halo..." "Halo... Caca ada?" Nah, gue mulai heran nih. Yang nelepon beda, sama2 nyari Caca. "Salah sambung" (nada tegas) [klik] [kriiing] "Halo..." "Halo, dengan 314-xxxx?" "Iya betul." "Cacanya ada?" Wah ini udah masuk kategori ajaib. Telepon baru dipasang sebulan, kok udah ada yang salah nomer sampe lengkap gitu? Gue jadi was-was; jangan2 telepon gue dikloning. Maka bulan berikutnya gue minta perincian tagihan telepon gue. Terny...