Analisis Denny Indrayana 
Indonesia Negeri Kaya Nihil Dosa
Denny Indrayana - detikcom
 Indonesia Negeri Kaya Nihil Dosa
Denny Indrayana - detikcom
Jakarta - Siapa bilang Indonesia miskin-papa.  Salah besar, bohong benar. Indonesia negara kaya-raya. Negeri makmur-subur,  damai-sentosa. Indonesia hanya pura-pura miskin: pura-pura banyak utang;  pura-pura banyak teroris; pura-pura banyak masalah. Sejatinya, Indonesia adalah  negara paling bahagia di seluruh dunia, di seantero jagat raya.
 Dunia yang mengira Indonesia miskin, tertipu.  Mereka hanya melihat kulit, tidak melihat isi. Dunia terpana tampilan luar fisik  Indonesia yang coreng-moreng-bopeng, padahal itu hanya topeng. Sebenarnya  Indonesia bukan negeri gepeng -- gelandangan-pengemis -- tapi bangsa yang  keren-mentereng. Tak percaya? Simak saja bagaimana harga minyak dikerek menyamai  harga di pasaran dunia, bukankah itu artinya daya beli masyarakat Indonesia pun  seharusnya setara dengan negara hebat lainnya?
 Meski mengirim babu ke manca negara, itu bukan  berarti kita berkasta sudra. Justru sebaliknya, Indonesia itu negeri luar biasa  kaya-raya. Buktinya, punya utang US$ 134,9 miliar pada akhir 2003, tenang-tenang  saja. Malah unjuk gigi berutang lebih banyak lagi. Agar negara kaya senang hati.  Indonesia itu pura-pura miskin, untuk berbaik budi, sebagaimana praktik yang  diajarkan para sufi.
 Indonesia itu bangsa emas. Hanya emaslah yang  terus diuji, diasah. Kalau batu cadas, ketemu langsung dibuang. Indonesia emas,  bukan cadas. Indonesia adalah jamrud khatulistiwa. Meski dimana-mana ada  bencana. Itu semua bukan laknat. Itu semua nikmat, berkat yang diturunkan dalam  bentuk yang tidak memikat.
 Tsunami di Aceh, itu nikmat. Longsor dimana-mana  itu rahmat. Demam berdarah, flu burung di seantero nusantara, itu berkat. Kalau  pemerintah negeri lain pasti kalang-kabut menghadapi itu semua, pemerintah  Indonesia, santai dan damai-damai saja. Sama tenangnya dengan kebanyakan  televisi yang tetap sarat menyajikan hiburan ala goyang pantat dan acara-acara  yang mengumbar syahwat.
 Mau tahu resepnya Indonesia begitu hebat? Hanya  satu kata: TAAT. Pemimpin Indonesia semua terhormat-bermartabat. Bayangkan,  koruptor di Indonesia itu agamanya luar biasa kuat. Sekelas Kiai yang tak jua  mau bertobat meski menilep dana alokasi umat. Itu maknanya, agama difahami amat  hakiki, sesuai nilai dasarnya saja. Agama itu ada, dikala orang tidak perlu  mengingatnya. Orang yang beragama, tidak perlu selalu pamer keberagamaannya.  Jika perlu, pura-pura saja lupa. Sholat-puasa biasa, korupsi juga jalan  apa-adanya.
 Pokoknya Indonesia itu tidak bisa dilihat dengan  mata biasa. Adanya, seperti tiadanya. Yang kelihatan, belum tentu yang  kenyataan. Indonesia itu negeri paling sufi. Buktinya Amerika Serikat sang Adi  Daya saja di subsidi kehidupannya oleh masyarakat miskin di ujung Papua. Gunung  emas di Timika diberikan secara nyaris cuma-cuma di tengah banyak masyarakat  puncak Jaya Wijaya yang tak putus dirundung nestapa, apalagi setelah kerusuhan  di Abepura.
 Australia adalah negara super lain yang paling  tahu bagaimana bersahajanya politik Indonesia. Demi persahabatan antar dua  negara, Indonesia rela dikira tak punya daya upaya. Berbilang kali Australia  bermain-main dengan harga diri bangsa, tetapi pemerintah Indonesia tetap saja  bermanis muka. Karenanya, kemarahan pemerintah Indonesia akibat pemberian visa  kepada pencari suaka dari Papua hanya dibalas Australia dengan pandangan sebelah  mata. Seandainya dengan negara lain, Australia pasti sudah disumpahi tak setia,  ibarat TTM, teman tapi monyong kelakuannya.
 Indonesia adalah negeri tanpa dosa. Hanya di  negeri ini koruptorpun dihormati dan diberi fasilitas hidup layaknya di surga.  Tak mengherankan lebih dari 1200 orang pejabat negara betah saja diperiksa  sebagai tersangka maupun terdakwa. Bahkan KPK yang seharusnya menjadi panglima  angkatan perang bersenjata, penyidiknya pun terperangkap penyakit korupsi yang  memang terlanjur merajalela.
 Korupsi. Agaknya memang praktik itulah yang di  Indonesia tidak pernah dianggap dosa. Terutama bagi para petinggi negara. Tengok  saja, ada empat wilayah yang tetap bebas melakukannya, yaitu: Istana, Cendana,  Senjata dan Pengusaha Naga. Di ke empat ranah itu, hukum hanya pajangan semata  dan tidak berdaya melawan praktik nista para pelaku mafia. Komisi Yudisial yang  mencoba-coba berlaga harus berhadapan para hakim agung yang tebal muka, buta  mata-buta hatinya. Perorangan yang mencoba-coba mengangkat suara akan dengan  mudah dibuat tiada, semudah arsenik menyatu dengan jiwa-raga bersahaja Munir  yang kasusnya hingga kini tak tentu ujung rimbanya.
 Hukum rimba itulah memang yang nyata hadir di  bumi persada. Hukum yang menghamba sahaya kepada para penguasa dan penyandang  dana. Hukum yang lupa akan tugas utamanya untuk membawa kabar bahagia kepada  siapa saja, tak perduli apa posisinya. Hukum yang berbeda perlakuannya ketika  berhadapan dengan para elit atau kawula alit. Hukum yang tebang pilih kasih.  Hukum yang menebas para kopral tapi melepas para jenderal. Hukum yang sarat  dengan praktik nista mafia peradilan.
 Karena semua kemunafikan itu, di negeri jamrud  khatulistiwa ini sewajibnya hadir kekhawatiran nyata. Karena tanpa tindak  segera, negeri ini tak akan bertahan lama. Negeri yang kaya harta tapi miskin  harga diri bangsa. Rasa kebangsaan ber-Indonesia berada di persimpangan antara  (ti)ada dan tiada. Sejujurnya, Indonesia memang kaya tapi terkena kutukan  menjadi sudra dunia karena tak pernah merasa korupsi itu adalah dosa yang  teramat nyata. 
 Keterangan Penulis:
Denny Indrayana, Doktor Hukum Tata Negara, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Direktur Indonesian Court Monitoring.
 Denny Indrayana, Doktor Hukum Tata Negara, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Direktur Indonesian Court Monitoring.