http://www.detiknews.com/read/2010/05/20/100911/1360570/103/e-mangnya--r-akyat--p-erlu-
Kamis, 20/05/2010 10:09 WIB
E(mangnya) R(akyat) P(erlu)?
Agus Pambagio - detikNews
Jakarta - Kepadatan lalu lintas di beberapa wilayah perkotaan di Indonesia sudah pada tahap yang sangat mengganggu kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kerugian demi kerugian terus bermunculan sebagai akibat kemacetan tanpa dapat dicegah dan diselesaikan oleh aparat Pemerintah Daerah dengan baik. Triliunan rupiah uang terbuang akibat kemacetan lalu lintas per tahunnya.
Kepadatan lalu lintas di wilayah DKI Jakarta dan Bodetabek dengan jumlah kendaraan roda empat sekitar 2,2 juta dan kendaraan roda dua sekitar 7,5 juta sudah sangat tidak produktif bagi warganya. Sebagai contoh, berangkat dari wilayah Pondok Labu pukul 06.30 menuju Kementerian Perindustrian di Jl. Gatot Subroto pada tahun 2009 memerlukan waktu sekitar 60 menit, saat ini sudah mendekati waktu sekitar 90 menit dengan rute dan jam keberangkatan yang sama.
Persoalannya selama 1 tahun ini, pertumbuhan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat sangat cepat, perilaku masyarakat pengendara kendaraan bermotor dan penumpang angkutan umum buruk, perilaku pengemudi (terutama pengemudi angkutan umum) buruk, jumlah pedagang kaki lima yang menyita luas jalan raya semakin bertambah, minimnya pertumbuhan jumlah jalan, tidak tegasnya pelaksanaan hukum lalu lintas jalan, dan buruknya sarana dan prasarana angkutan umum menyebabkan kerugian ekonomi sekitar Rp 12,8 triliun !
Di sisi lain Pemerintah DKI Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia tidak mempunyai visi dan perencanaan yang jelas dan menyeluruh tentang masalah transportasi. Mereka hanya berpikiran bagaimana caranya mengutip retribusi dan pajak daerah setinggi mungkin demi menutupi kocek Pendapatan Asli Daerah (PAD) di wilayahnya. Mereka tidak pernah berpikir bahwa rusaknya pelayanan transportasi publik membuat PAD menjadi tidak ada gunanya.
Banyak isu terkait layanan publik betebaran setiap harinya yang kadang tanpa kejelasan ujung pangkalnya. Ada isu MRT, isu parkir berlangganan, isu air mati sampai isu yang dalam 2 minggu terakhir berkibar di media, yaitu isu ERP atau Electronic Road Pricing sebagai pengganti three in one. Semoga isu ERP bisa menjadi kenyataan sehingga kemacetan di DKI Jakarta bisa berkurang. Jangan sampai rakyat beranggapan bahwa ERP adalah E(mangnya) R(akyat) P(erlu).
Mahluk Apakah ERP ?
ERP sebenarnya merupakan sistem retribusi yang dikenakan kepada kendaraan bermotor yang melewati ruas jalan tertentu dengan tujuan tertentu, misalnya untuk mengurangi kepadatan lalu lintas, mengurangi polusi dan sebagainya. Dalam tarif ERP biasanya mencakup biaya pajak bahan bakar, biaya parkir dikawasan ERP, biaya tol, biaya kemacetan dan lain-lain.
Tujuan ERP yang sebenar-benarnya adalah agar Pemda DKI Jakarta memperoleh pemasukan yang akan digunakan hanya untuk pembiayaan pembangunan transportasi dan membiayai akibat dari kemacetan itu sendiri bukan untuk keperluan Pemerintah Daerah yang lain.
ERP pertama kali diterapkan di Singapura pada tahun 1978 diikuti oleh Norwegia (1986), London (2003) dan beberapa negara lain. Pemda DKI Jakarta sudah sejak 5 tahun terakhir ini membahas kemungkinan menerapkan ERP sebagai pengganti sistem three in one yang selama ini tidak efektif, namun tak kunjung terlaksana karena ketiadaan regulasi yang menaunginya.
Pertanyaannya, apakah Pemerintah Daerah DKI Jakarta sudah mempunyai data lengkap terkait dengan penerapan ERP? Apakah jika ERP diterapkan, kemacetan di wilayah DKI Jakarta bisa diurai dengan sukses ? Apakah landasan hukum untuk pelaksanaan ERP, khususnya pengelolaan dana retribusi yang diterima dari kendaraan yang melalui kawasan ERP, sudah lengkap?
Sampai hari ini landasan hukum pelaksanaan ERP belum lengkap. Memang landasan UU-nya sudah ada, yaitu UU no 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Pendapatan Daerah. Namun Peraturan Pelaksanaannya apa pun bentuknya, seperti Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri Keuangan atau Perda belum selesai dibuat.
Peraturan Pelaksanaan menjadi penting agar penerimaan dari ERP tidak masuk ke Kas Daerah Pemda DKI sebagai PAD dan akan digunakan oleh Pemda untuk bermacam pembangunan, seperti pemakaman atau toilet umum atau bahkan membeli baju seragam Gubernur. Penerimaan dari ERP HARUS dapat digunakan untuk pengembangan transportasi di wilayah Pemda DKI, termasuk pembangunan jalan, under pass, fly over dan penyediaan sarana angkutan umum.
Efektifkah ERP Menanggulangi Kemacetan ?
Jika ERP diterapkan tanpa melakukan beberapa langkah-langkah terintegrasi lainnya, kemacetan di wilayah DKI dan Bodetabek tidak secara otomatis akan terurai. Untuk mengurangi kemacetan, ERP harus diterapkan secara bersama-sama dengan pengembangan angkutan masal yang modern-terencana-terjadwal, tarif parkir yang tinggi, perbaikan sistem pengambilan Surat Izin Mengemudi (SIM), pendidikan tertib berlalu lintas dan penegakan hukum yang tegas bagi siapa saja termasuk pejabat publik dan militer. Tanpa ini semua ERP hanya akan menjadi beban warga pemilik kendaraan bermotor, khususnya roda empat.
Supaya tidak menjadi bahan olok-olok di masyarakat dan ERP diplesetkan menjadi E(mangnya) R(akyat) P(erlu), Pemda DKI Jakarta harus serius melaksanakan pembenahan sistem transportasi termasuk mengelola dana penerimaan yang berasal dari ERP dengan baik. Bukan diselewengkan untuk hal-hal aneh lainnya. Semoga.
*) Agus Pambagio, Pemerhati Kebijakan Pubik dan Perlindungan Konsumen
(asy/asy)
Kamis, 20/05/2010 10:09 WIB
E(mangnya) R(akyat) P(erlu)?
Agus Pambagio - detikNews
Jakarta - Kepadatan lalu lintas di beberapa wilayah perkotaan di Indonesia sudah pada tahap yang sangat mengganggu kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kerugian demi kerugian terus bermunculan sebagai akibat kemacetan tanpa dapat dicegah dan diselesaikan oleh aparat Pemerintah Daerah dengan baik. Triliunan rupiah uang terbuang akibat kemacetan lalu lintas per tahunnya.
Kepadatan lalu lintas di wilayah DKI Jakarta dan Bodetabek dengan jumlah kendaraan roda empat sekitar 2,2 juta dan kendaraan roda dua sekitar 7,5 juta sudah sangat tidak produktif bagi warganya. Sebagai contoh, berangkat dari wilayah Pondok Labu pukul 06.30 menuju Kementerian Perindustrian di Jl. Gatot Subroto pada tahun 2009 memerlukan waktu sekitar 60 menit, saat ini sudah mendekati waktu sekitar 90 menit dengan rute dan jam keberangkatan yang sama.
Persoalannya selama 1 tahun ini, pertumbuhan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat sangat cepat, perilaku masyarakat pengendara kendaraan bermotor dan penumpang angkutan umum buruk, perilaku pengemudi (terutama pengemudi angkutan umum) buruk, jumlah pedagang kaki lima yang menyita luas jalan raya semakin bertambah, minimnya pertumbuhan jumlah jalan, tidak tegasnya pelaksanaan hukum lalu lintas jalan, dan buruknya sarana dan prasarana angkutan umum menyebabkan kerugian ekonomi sekitar Rp 12,8 triliun !
Di sisi lain Pemerintah DKI Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia tidak mempunyai visi dan perencanaan yang jelas dan menyeluruh tentang masalah transportasi. Mereka hanya berpikiran bagaimana caranya mengutip retribusi dan pajak daerah setinggi mungkin demi menutupi kocek Pendapatan Asli Daerah (PAD) di wilayahnya. Mereka tidak pernah berpikir bahwa rusaknya pelayanan transportasi publik membuat PAD menjadi tidak ada gunanya.
Banyak isu terkait layanan publik betebaran setiap harinya yang kadang tanpa kejelasan ujung pangkalnya. Ada isu MRT, isu parkir berlangganan, isu air mati sampai isu yang dalam 2 minggu terakhir berkibar di media, yaitu isu ERP atau Electronic Road Pricing sebagai pengganti three in one. Semoga isu ERP bisa menjadi kenyataan sehingga kemacetan di DKI Jakarta bisa berkurang. Jangan sampai rakyat beranggapan bahwa ERP adalah E(mangnya) R(akyat) P(erlu).
Mahluk Apakah ERP ?
ERP sebenarnya merupakan sistem retribusi yang dikenakan kepada kendaraan bermotor yang melewati ruas jalan tertentu dengan tujuan tertentu, misalnya untuk mengurangi kepadatan lalu lintas, mengurangi polusi dan sebagainya. Dalam tarif ERP biasanya mencakup biaya pajak bahan bakar, biaya parkir dikawasan ERP, biaya tol, biaya kemacetan dan lain-lain.
Tujuan ERP yang sebenar-benarnya adalah agar Pemda DKI Jakarta memperoleh pemasukan yang akan digunakan hanya untuk pembiayaan pembangunan transportasi dan membiayai akibat dari kemacetan itu sendiri bukan untuk keperluan Pemerintah Daerah yang lain.
ERP pertama kali diterapkan di Singapura pada tahun 1978 diikuti oleh Norwegia (1986), London (2003) dan beberapa negara lain. Pemda DKI Jakarta sudah sejak 5 tahun terakhir ini membahas kemungkinan menerapkan ERP sebagai pengganti sistem three in one yang selama ini tidak efektif, namun tak kunjung terlaksana karena ketiadaan regulasi yang menaunginya.
Pertanyaannya, apakah Pemerintah Daerah DKI Jakarta sudah mempunyai data lengkap terkait dengan penerapan ERP? Apakah jika ERP diterapkan, kemacetan di wilayah DKI Jakarta bisa diurai dengan sukses ? Apakah landasan hukum untuk pelaksanaan ERP, khususnya pengelolaan dana retribusi yang diterima dari kendaraan yang melalui kawasan ERP, sudah lengkap?
Sampai hari ini landasan hukum pelaksanaan ERP belum lengkap. Memang landasan UU-nya sudah ada, yaitu UU no 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Pendapatan Daerah. Namun Peraturan Pelaksanaannya apa pun bentuknya, seperti Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri Keuangan atau Perda belum selesai dibuat.
Peraturan Pelaksanaan menjadi penting agar penerimaan dari ERP tidak masuk ke Kas Daerah Pemda DKI sebagai PAD dan akan digunakan oleh Pemda untuk bermacam pembangunan, seperti pemakaman atau toilet umum atau bahkan membeli baju seragam Gubernur. Penerimaan dari ERP HARUS dapat digunakan untuk pengembangan transportasi di wilayah Pemda DKI, termasuk pembangunan jalan, under pass, fly over dan penyediaan sarana angkutan umum.
Efektifkah ERP Menanggulangi Kemacetan ?
Jika ERP diterapkan tanpa melakukan beberapa langkah-langkah terintegrasi lainnya, kemacetan di wilayah DKI dan Bodetabek tidak secara otomatis akan terurai. Untuk mengurangi kemacetan, ERP harus diterapkan secara bersama-sama dengan pengembangan angkutan masal yang modern-terencana-terjadwal, tarif parkir yang tinggi, perbaikan sistem pengambilan Surat Izin Mengemudi (SIM), pendidikan tertib berlalu lintas dan penegakan hukum yang tegas bagi siapa saja termasuk pejabat publik dan militer. Tanpa ini semua ERP hanya akan menjadi beban warga pemilik kendaraan bermotor, khususnya roda empat.
Supaya tidak menjadi bahan olok-olok di masyarakat dan ERP diplesetkan menjadi E(mangnya) R(akyat) P(erlu), Pemda DKI Jakarta harus serius melaksanakan pembenahan sistem transportasi termasuk mengelola dana penerimaan yang berasal dari ERP dengan baik. Bukan diselewengkan untuk hal-hal aneh lainnya. Semoga.
*) Agus Pambagio, Pemerhati Kebijakan Pubik dan Perlindungan Konsumen
(asy/asy)