Wardiman Djojonegoro
Oleh  Wardiman Djojonegoro *
 
 KOMPAS.com — Pada tahun 1963, beberapa mahasiswa  Universitas Aachen menunggu di Bandara Dusseldorf, menanti kedatangan  seniornya, BJ Habibie, yang membawa pasangannya yang baru.
 
 Begitu diperkenalkan, kesan pertama kami adalah alangkah serasinya kedua  sejoli ini dari segi penampilan, Habibie tidak tinggi dan Dr Hasri  Ainun Besari Habibie (Ainun) tidak lebih tinggi dari suaminya.
 
 Ia murah senyum, terlihat anggun dan menyerahkan semua percakapan kepada  suaminya. Kami, anak mahasiswa Aachen, memang sudah terbiasa dengan  sifat Rudy—panggilan Habibie—yang ramai, tetapi ramah. Kesan lain yang  kami dapati adalah, Ainun seorang tokoh yang tidak ingin menonjol dan  sengaja berada di garis belakang, tetapi bukan berarti tidak berbobot.
 
 Mendukung dari belakang
 Dalam sejarah perkenalan saya dengan keluarga ini, kesan pertama itu  diperkuat lagi oleh kuatnya pendirian Ainun dalam mendukung suaminya  dari belakang. Ia sangat memahami tugas-tugas suaminya dan bagaimana  dengan setia mendampingi dan mendukung suaminya. Ke mana pun sang suami  pergi, beliau dengan setia dan sabar mendampinginya, tidak saja secara  fisik, tetapi juga dengan kata-kata dan nasihat yang bermakna.
 
 Misalnya, sewaktu Sidang MPR tahun 1999, kata-kata kasar dari anggota  DPR tetap diterima dengan anggun dan, di rumah, Ainun membantu Rudy  mengatasi kecaman-kecaman yang diucapkan tidak pantas itu. Banyak dari  kami yang mengatakan bahwa Ainun adalah contoh istri yang ideal, tidak  menonjol tetapi menjadi satu kesatuan dengan suaminya karena selalu  mendukungnya dari belakang.
 
 Seorang sosok yang cantik, anggun, pintar, tetapi pandai menempatkan  diri dalam pergaulan sehari-hari dan perjalanan karier di samping  suaminya. Apalagi sang suami adalah seorang yang dinamis dan penuh  dengan energi. 
 
 Dalam berbagai kesempatan, Rudy menyatakan di depan umum betapa Ainun  menjadi penopang dan pendorong dalam hidup dan aktivitasnya. Betul pula  pepatah yang menyatakan bahwa "di balik seorang laki laki yang sukses  bisa didapati wanita yang telah mendukungnya".
Pada masa awal pacaran mereka, setelah Ainun menerima lamaran Rudy,  Rudy secara reguler mengantar Ainun pergi bekerja ke Rumah Sakit Cipto  Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, tempat Ainun bekerja di bagian anak-anak.  Biasanya, Rudy menjemput Ainun memakai becak, sesudah itu mereka  berjalan meninggalkan kompleks RSCM. 
 
 Mereka mengalami masa pacaran yang singkat, tetapi cukup mengesankan.  Mereka berpacaran di atas becak malam hari dengan jok tertutup kendati  saat itu tidak sedang hujan.
 
 Pernah pula ketika sedang pacaran mereka ketemu dengan rombongan  teman-teman Ainun dari Fakultas Kedokteran. Salah seorang bertanya,  "Siapa sih nama tunanganmu Ainun?" Seorang lagi memotong, "Namanya  Bacharuddin Jusuf Habibie. Orang Arab lagi." Ainun tersenyum lalu  berkata, "Ini orang Arab-nya," sambil menunjuk Rudy yang berada di  sebelahnya. Teman-teman Ainun kaget, Rudy hanya senyum-senyum.
 
 Selalu mengingatkan
 Mereka menikah 12 Mei 1962 dan Ilham—putra mereka pertama—lahir pada  1963 di Jerman karena, setelah menikah, Ainun langsung di boyong ke  Jerman. Di situ mereka hidup dalam rumah tangga anak muda,  berpahit-pahit karena penghasilan Rudy sebagai mahasiswa tingkat  doktoral masih sangat kecil, pemasukan harus pula disisihkan sebagian  untuk ditabung. 
 
 Masa itulah masa berat mereka di awal-awal pernikahan. Ketika saya harus  ke Holland (Belanda dengan Aachen sangat dekat), Rudy menitipkan kepada  saya untuk membelikan kereta dorong bayi karena harga di Belanda lebih  murah.
 
 Ainun sangat mencintai dan selalu memberikan perhatian besar kepada  suaminya. Ketika masih menjadi Menristek/Ketua BPPT, Rudy sering pulang  terlambat dari kantor, biasanya bisa lewat dari pukul 22.00. Jika sudah  terlambat seperti itu, Ainun menelepon langsung dari rumah mengingatkan  agar Rudy segera pulang karena harus menjaga kesehatan. Rudy biasanya  minta kepada sekretariat agar menjawab "Bapak sudah menuju lift",  padahal sebenarnya ia masih duduk di kursi dan meneruskan pekerjaan,  tidak langsung pulang. 
Perhatian Ainun juga tertuju pada makanan Rudy sehari-hari. Ia selalu  menjaga kalori yang pantas dalam asupan suaminya. Ia memberikan  batasan-batasan makanan apa saja seharusnya yang dikonsumsi. Karena itu,  Rudy sangat tertib dalam hal makanan jika Ainun ada di dekatnya. Namun,  jika Ainun tak ada, saya lihat Rudy sering melanggar pantangan yang  diberikan Ainun. 
 
 Hal lain yang menarik adalah soal waktu. Kita semua tahu jika Rudy  memberikan sambutan dan berceramah biasanya selalu panjang melebihi  batas waktu yang dijatahkan. Namun, jika Ainun hadir, almarhumah biasa  memberikan isyarat agar segera berhenti dan Rudy dengan jujur  menyampaikan kepada hadirin, ia akan segera menghentikan pidato dan  ceramahnya karena sudah mendapat isyarat dari Ibu Ainun agar berhenti.
 
 Suatu waktu, pada acara salat tarawih di kediaman beliau di Jalan Patra,  Rudy diberi kesempatan menyampaikan sambutan kepada jemaah. Ternyata,  sambutan Rudy berkepanjangan. Melihat jemaah sudah gelisah karena masih  akan dilanjutkan acara tarawih, Ibu Ainun melalui salah seorang cucunya  meminta supaya memberikan isyarat kepada "eyang kakungnya" agar  mengakhiri sambutan. 
 
 Sang cucu memang menjalankan tugasnya dan tampil ke depan mengayunkan  tangan seperti kalau sedang salat. Rudy mengerti isyarat itu dan  mengakhiri sambutannya. Namun, ia tidak lupa berkomentar, "Itu pasti  disuruh oleh Ibu Ainun." Jemaah pun tertawa.
 
 Ainun penuh dengan energi dan tidak saja aktif sebagai ibu rumah tangga  meski suaminya menteri dalam Kabinet Pembangunan. Ia aktif dengan  berbagai kegiatan di bidang organisasi wanita: Dharma Wanita Pusat, Ria  Pembangunan, dan banyak kegiatan sosial di bidang anak dan manula.  Namun, beliau sangat religius dan pengajian secara teratur dilakukan di  rumahnya.
 
 Sewaktu menjadi Ibu Negara saya sangat terkagum-kagum bagaimana Ainun  bisa mempunyai stamina dan membagi waktu untuk mengikuti setiap acara  Presiden, baik di dalam maupun di luar kota. Menerima lebih banyak lagi  tamu di luar kegiatan keluarga. Dan, di samping itu, ia masih dapat  membagikan kepedulian dalam kegiatan sosial. 
Setelah Rudy tidak lagi menjabat di pemerintahan, Ainun masih aktif  dalam kegiatan sosial. Misalnya menjadi Ketua Perkumpulan Penyantun Mata  Tunanetra Indonesia (PPMTI), Wakil Ketua Dewan Pendiri Yayasan SDM  Iptek, mendirikan Yayasan Orbit dengan cabang di seluruh Indonesia. Juga  memprakarsai majalah teknologi anak anak Orbit. Semasa gejolak di Aceh  pada tahun 2000-an, Ainun mengadakan beasiswa ORBIT khusus untuk siswa  Aceh.
 
 Ibu Ainun sudah tiada, meninggalkan kita dengan banyak kenangan yang  manis dan berkesan. Meskipun tak banyak diekspos media, banyak tindakan  beliau semasa hidup yang menjadi suri teladan bagi kita semua. Kasih  sayang dan cinta tidak saja dibagi dengan suami, anak, dan keluarga,  tetapi juga dengan masyarakat. 
 
 Bagi saya, Ainun betul-betul sosok ibu dari anak-anak negara dan seorang  istri teladan.
 
 *Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada  Kabinet Pembangunan VI, 1993-1998
http://nasional.kompas.com/read/2010/05/25/08504368/Mengenang.Ibu.Ainun.Habibie