Date: 2011/6/30
Subject: [Indo-Sing] Re: Ketua biro biroan TKI, emang cerdas luar biasa dan sangat membantuTKI
To: indo-sing@yahoogroups.com
Oom Mata & Oom Tommy, saya nggak yakin BNP2TKI bisa melindungi para TKI di dalam negeri (apalagi di luar negeri). Ini berdasarkan pengalaman.
Pembantu saya, sebut saja Ati, sekarang juga takut sendirian tiba di Soeta, sejak kejadian terakhir dua bulan yang lalu. Waktu itu saya datang ke Jakarta untuk weekend, ternyata tiba-tiba ada proyek sehingga saya harus memperpanjang tinggal dan bekerja di Jakarta beberapa hari. Jadi Ati saya minta membawakan laptop dari Singapore beserta persediaan ASI (frozen expressed breastmilk) untuk bayi saya.
Tapi di Soeta selepas imigrasi Ati 'ditangkap' petugas BNP2TKI dan digiring ke terminal khusus TKI. Walaupun saya sudah mengirim supir untuk menjemput di luar dan dia sudah menyatakan bahwa dia sudah dijemput oleh supir majikan, bahkan saya sudah berbicara dengan petugas menyatakan bahwa Ati itu ke Jakarta dalam rangka bekerja untuk saya, bukan untuk cuti pulang kampung, dan bahwa saya majikannya, mereka tidak mau mendengar. Juga tidak mau mendengar bahwa dia membawa ASI yang berharga sekali untuk bayi saya, juga laptop untuk saya pakai bekerja. Saya sudah minta bicara dengan petugas yang paling berkuasa, tapi mereka tetap tidak mau mendengar.
Paspornya diambil lalu dia digiring bersama puluhan TKW lain ke dalam bis dan dibawa ke sebuah gedung besar di daerah sepi sedikit di luar daerah bandara.
Di dalam bis mereka dimintai uang. Ini saya dengar sendiri melalui telepon karena saya terus berbicara dengan Ati selama dia digiring petugas BNP2TKI. Petugas bilang begini, "Mbak-mbak, dipersilakan menyumbang uang, serelanya, seikhlasnya, dalam mata uang apa pun diterima, kalau punya dinar ya silakan menyumbang dinar, kalau punya dolar juga boleh dalam dolar." Tapi waktu Ati menyatakan tidak rela memberi uang, dia terus-menerus disindir, dimarahi dan dikata-katai.
Di terminal khusus itu mereka didata lalu ditanyai mau pulang ke mana. Rupanya ada peraturan (Permen kalau tidak salah, saya lupa nomornya) yang menyebutkan untuk melindungi para TKW dari pemerasan dan pungli, dibuatlah sebuah satuan khusus dari depnaker yang menangani pemulangan para TKW. Jadi di situ sudah ada ketentuan mereka harus membayar sekian ratus ribu untuk pulang ke Cirebon, sekian untuk ke Lampung dan seterusnya. Lalu mereka akan diantar dengan kendaraan yang sudah disediakan.
Niatnya betul melindungi, tapi pelaksanaannya itu. Menurut kisah beberapa teman-teman Ati, biasanya di jalan mereka dimintai uang lagi di luar pungutan resmi tadi. Kalau mereka tidak mau memberi, mereka akan diturunkan tengah malam jauh dari tujuan. Juga untuk bisa naik kendaraan itu harus ada jumlah minimal penumpang yang bertujuan ke daerah sama. Jadi bila jumlah minimal belum cukup mereka harus tinggal di terminal penampungan itu, bahkan bisa selama beberapa hari. Petugas-petugas ini betul-betul tidak toleran. Ati bercerita pernah ada seorang temannya yang harus pulang karena anaknya sakit keras. Tetapi dia ditangkap lalu harus tinggal 2 hari di penampungan sampai cukup orang untuk pulang bersama dalam satu kendaraan. Sampai di rumah anaknya sudah meninggal.
Terminal penampungan itu kotor, kamar mandinya tidak bersih dan pintunya banyak yang tidak bisa dikunci. Para petugasnya juga sangat merendahkan para pembantu. Ati sempat dibilang memalukan bangsa karena bekerja di luar negeri sebagai pembantu. Waktu dia berusaha meyakinkan bahwa dia sudah sering keluar masuk Indonesia bersama saya (dengan menunjukkan cap di paspor) dia malah dituduh bekerja jadi pelacur.
Sementara itu usaha saya menelepon ke sana kemari tidak membuahkan hasil, saya tidak bisa mengeluarkan dia. Supir saya dilarang masuk ke kompleks penampungan. Akhirnya suami saya, kebetulan orang asing, harus pergi ke sana. Berdua dengan supir dia memaksa masuk ke tempat penampungan. Melihat bule berbadan besar bertampang seram meminta bertemu dengan Ati mereka ketakutan dan akhirnya mengijinkan suami saya masuk. Tapi mereka tetap bersikukuh tidak mau melepaskan Ati, hanya mau memberikan laptop dan ASI saja (yang sementara itu sudah meleleh semua karena berjam-jam kepanasan). Mereka meminta suami saya membayar tapi dia juga berkeras tidak mau membayar dan mengancam akan duduk di situ sampai Ati dikeluarkan, sementara saya akan memanggil wartawan.
Akhirnya mereka bersedia melepaskan Ati tapi tidak bisa lewat gerbang gedung itu, katanya karena takut kena hukuman. Maka Ati dan suami saya harus naik bis kembali ke terminal 2 kedatangan dan keluar lewat pintu bea cukai seperti penumpang pesawat biasa. Ati tiba di Jakarta jam 6 sore, dan mereka baru bisa keluar bandara jam 2 pagi. Sementara itu ASI yang dibawanya sudah tidak bisa lagi diberikan kepada bayi saya jadi jadwal kerja saya di Jakarta jadi kacau dan kami semua setres, apalagi Ati. Dia jadi sangat takut kepada segala macam petugas, apalagi petugas BNP2TKI.
Begini yang namanya melindungi? Saya tidak percaya mereka bisa melindungi!! Peraturannya memang melindungi tapi pelaksanaannya malahan mebuat pungli jadi terorganisir. Kalau satu dua orang melakukan pungli, itu namanya oknum. Kalau seluruh satuan yang resmi dibentuk ada struktur organisasi dan payung hukumnya, resmi di bawah BNP2TKI, malah melakukan pemerasan rame-rame, apa namanya masih oknum?
Sori, jadi emosi setiap teringat kejadian itu. Saya sangat memanusiakan Ati, yang membantu saya di rumah sehingga saya bisa bekerja dengan tenang. Ati perempuan cerdas. Beda dia dengan saya hanya nasib. Kebetulan saya bisa sekolah tinggi dan bekerja sebagai profesional, dia tidak. Tapi petugas-petugas BNP2TKI tidak pernah melihat itu dan tidak pernah memanusiakan orang-orang seperti Ati. Mereka merasa lebih superior dari Ati. Bagaimana bisa lebih superior? Mereka pencuri dan pemeras, sedangkan Ati dan teman2nya bekerja jujur di negeri orang, independen tidak memberatkan negara. Huh! (sekali lagi maaf, saya emosi)
Salam,
niel