Abdul Munir Mulkhan
Teologi mati syahid model Azahari bisa memperpuruk nasib jutaan rakyat miskin negeri ini. Konflik disertai kekerasan dalam praktik demokrasi bagai terperangkap lingkaran setan saat praktik kesalehan keagamaan kian jauh dari kepekaan dan empati kemanusiaan.
Praktik korupsi yang melibatkan hampir seluruh pilar bangsa (birokrat, penegak hukum, dan legislator) telah membuat seluruh sistem kehidupan yang disusun berdasar cita-cita indah itu gagal berfungsi.
Janji surgawi
Kesediaan mati syahid dengan bom bunuh diri yang sulit diterima akal sehat bukan hal aneh dalam sistem keberagamaan tertutup (ortodoks). Sejumlah pemikiran Islam (dan agama lain) meletakkan dunia kehidupan sebagai daarul harb (wilayah perang), lawan daarussalam (Islam).
Di sinilah kritik Karl Marx tentang agama sebagai peninabobokan manusia atau kritik Nietsczhe tentang kematian Tuhan selalu menarik untuk memahami kekerasan atas nama agama. Janji surgawi bisa membuat seseorang bersedia mati yang atas nama Tuhan berhak menindas dan membunuh orang lain yang dianggap kafir dan musuh Tuhan.
Ketaatan terhadap Tuhan sering membutakan mata hati dan akal sehat pemeluk agama. Sakralitas wahyu Tuhan merembesi seluruh bangunan pemahaman (tafsir) pemeluk suatu agama terhadap wahyu meski tafsir bukanlah wahyu itu sendiri.
Setiap kritik terhadap pemahaman keagamaan mudah diletakkan sebagai pelecehan terhadap Tuhan. Orang atau bangsa dan sistem peradaban yang langsung atau tidak langsung menyebabkan orang atau bangsa pemeluk Islam menderita dan tertindas mudah ditempatkan sebagai kafir, musuh Islam atau Tuhan yang wajib diperangi berdasar teologi jihad (perang fisik).
Di sinilah mengapa kelompok Azahari meletakkan Inggris, Amerika, Italia, Australia, Dunia Barat dan simbol-simbol Barat sebagai sasaran jihad akibat kebijakan politiknya terhadap bangsa-bangsa Muslim.
Kelompok ”the Others”
Teologi jihad dengan doktrin mati syahid berakar pada pandangan pemeluk Islam terhadap orang atau peradaban lain (the others) yang belum Islam atau bertentangan ajaran Islam.
The others bisa dipandang sebagai representasi kekafiran yang identik dengan kejahatan setan (munkarot). Dunia kehidupan global atau kebangsaan sebagai the others bisa diletakkan dalam perspektif daarul harb. Orang lain yang tak sefaham bisa dipandang sebagai the others meski memeluk agama yang sama. Kehidupan aktual digolongkan daarul Islam atau daarussalam sepanjang seluruh tata kehidupan di bawah kontrol kekuasaan Islam atau diatur berdasar syariah.
Pandangan itu mudah ditemukan dalam berbagai buku Islam yang ditulis para ulama dan intelektual Muslim yang menjelaskan hubungan pemeluk Islam dengan the others. Umumnya, materi khotbah, pengajian, dan dakwah dalam masyarakat dan pendidikan agama Islam di sekolah dan lembaga pesantren bersumber dari konsep itu.
Islam yang berarti damai dan selamat seperti ajaran semua agama tidak selamanya menjadikan penganut agama memilih jalan damai tanpa kekerasan. Dakwah Islam melalui khotbah, ceramah, atau pengajian dan pendidikan. Islam tidak memaksa orang lain memeluk Islam. Tetapi, praktik dakwah cenderung menempatkan the others (orang lain yang belum seagama atau sefaham) sebagai sasaran dengan simbolisasi kekafiran, munafik, murtad, teman setan, dajjal musuh Islam, atau calon penghuni neraka.
Pemeluk paling setia pada ajaran agama cenderung sulit berlaku jujur terhadap tafsir atas ajaran agama sebagai wahyu Tuhan yang mutlak benar dan sakral. Kritik atas ajaran agama yang merupakan tafsir itu mudah dituduh sebagai keraguan terhadap kebenaran wahyu. Mereka yang bersikap kritis terhadap pandangan ulama yang disusun seribu tahun lalu itu mudah dianggap sebagai agen-agen kekuatan anti-Islam dari peradaban Barat yang Nasrani dan Yahudi. Sikap kritis bisa dipandang keluar dari Islam atau murtad yang bisa dijatuhi hukuman mati.
Sudah saatnya klarifikasi apa yang diyakini sebagai ajaran Islam yang sakral, mutlak benar- sempurna dari wahyu dalam Al Quran dan sunah Rasul dengan ajaran Islam sebagai tafsir ulama. Ajaran Islam dipelajari sebagai ilmu yang terbuka dikritisi guna mencari relevansinya terhadap pemecahan problem kemanusiaan sebagai realisasi fungsi rahmatan lil alamin (berkah bagi seluruh manusia). Di sisi lain, kritik atas tafsir ulama dipandang sebagai ketidakpercayaan terhadap kebenaran sempurna Al Quran dan sunah Rasul.
Klarifikasi ajaran Islam itu adalah amanat sejarah bagi lembaga pendidikan Islam yang menjadikan ilmu keislaman (islamic studies) sebagai fokus kajian. Jika IAIN, STAIN, UIN, perguruan tinggi swasta Islam dan pesantren gagal memenuhi tugas sejarahnya, ajaran Islam bisa kehilangan fungsi profetik mengawal perkembangan peradaban. Atau, kekerasan berbasis agama, berbagai aksi teror di negeri ini dan dunia akan meluas menghancurkan seluruh sendi peradaban yang berkeadilan dan manusiawi.
Abdul Munir Mulkhan Pengajar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta