Selasa, 06/07/2010 07:38 WIB
Analogi Tikus Gambarkan Imajinasi dan Lingkungan Seseorang
Laurencius Simanjuntak - detikNews
Jakarta - Usai heboh cicak versus buaya dan babi, publik kini kembali disuguhankan fabel episode baru. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengimbau kader partainya belaku seperti tikus, tidak langsung menggigit, tapi mengendus lebih dulu sebelum menggigit.
Sastrawan yang juga penulis naskah lakon 'Republik Reptil', Radhar Panca Dahana, menilai pemilihan kata oleh seseorang menggambarkan, discourse, lingkungan, imajinasi, cara berbuat dan juga tujuan seseorang.
"Pemimpin mengatakan tikus, sementara tikus itu perlambang sebuah kebusukan, kemunafikan, kelicikan dan simbolisasi sebagai koruptor. Betapa pemimpin itu pendek imajinasinya, kering imajinasinya, kotor kepala dan pikirannya. Bahkan sampai mengimbau," kata Radhar saat berbicang dengan detikcom, Selasa (6/7/2010).
Radhar menilai tikus bukanlah bintang yang dalam dunia fabel mewakili derajat kemuliaan. Karenanya, tidak pantas untuk menggambarkan realitas kehidupan manusia dengan tikus.
"Ini menunjukkan rendahnya apresiasi kita terhadap manusia, rendahnya kemanusiaan manusia menunjukkan merosotnya keadaban publik kita," kata Radhar.
Pemilihan kata tikus ini, kata Radhar, juga tak ubahnya istilah cicak dan buaya yang dipopulerkan oleh Komjen Pol Susno Duadji. "Kalau menyebut buaya, ya dia identik dengan buaya, licik, ganas," kata dia.
Sikap reaktif kepolisian terhadap cover majalah Tempo yang bergambar celengan babi, dinilai Radhar, juga menunjukkan ketidaksehatan berpikir. Pada celengan babi, polisi dinilai cenderung menekankan pada aspek binatangnya ketimbang bendanya (celengan).
"Celengan ya celengan, kenapa harus diasosiasikan dari kebinatangannya. Tapi karena pikiran yang sempit, maka ia melecuti kata bendanya dan mengambil kata sifatnya. Itu kebodohan," tegasnya.
(lrn/mpr)
Analogi Tikus Gambarkan Imajinasi dan Lingkungan Seseorang
Laurencius Simanjuntak - detikNews
Jakarta - Usai heboh cicak versus buaya dan babi, publik kini kembali disuguhankan fabel episode baru. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengimbau kader partainya belaku seperti tikus, tidak langsung menggigit, tapi mengendus lebih dulu sebelum menggigit.
Sastrawan yang juga penulis naskah lakon 'Republik Reptil', Radhar Panca Dahana, menilai pemilihan kata oleh seseorang menggambarkan, discourse, lingkungan, imajinasi, cara berbuat dan juga tujuan seseorang.
"Pemimpin mengatakan tikus, sementara tikus itu perlambang sebuah kebusukan, kemunafikan, kelicikan dan simbolisasi sebagai koruptor. Betapa pemimpin itu pendek imajinasinya, kering imajinasinya, kotor kepala dan pikirannya. Bahkan sampai mengimbau," kata Radhar saat berbicang dengan detikcom, Selasa (6/7/2010).
Radhar menilai tikus bukanlah bintang yang dalam dunia fabel mewakili derajat kemuliaan. Karenanya, tidak pantas untuk menggambarkan realitas kehidupan manusia dengan tikus.
"Ini menunjukkan rendahnya apresiasi kita terhadap manusia, rendahnya kemanusiaan manusia menunjukkan merosotnya keadaban publik kita," kata Radhar.
Pemilihan kata tikus ini, kata Radhar, juga tak ubahnya istilah cicak dan buaya yang dipopulerkan oleh Komjen Pol Susno Duadji. "Kalau menyebut buaya, ya dia identik dengan buaya, licik, ganas," kata dia.
Sikap reaktif kepolisian terhadap cover majalah Tempo yang bergambar celengan babi, dinilai Radhar, juga menunjukkan ketidaksehatan berpikir. Pada celengan babi, polisi dinilai cenderung menekankan pada aspek binatangnya ketimbang bendanya (celengan).
"Celengan ya celengan, kenapa harus diasosiasikan dari kebinatangannya. Tapi karena pikiran yang sempit, maka ia melecuti kata bendanya dan mengambil kata sifatnya. Itu kebodohan," tegasnya.
(lrn/mpr)